Oleh : Tim Ademos
Ademos Indonesia – Saat ini kita berada di ambang revolusi teknologi yang secara fundamental sangat mungkin mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain. Dalam skala, ruang lingkup, dan kompleksitasnya, transformasi yang sedang terjadi berbeda dengan apa yang telah dialami manusia sebelumnya. Kita belum tahu persis apa yang akan terjadi di masa depan. Tetapi ada satu hal yang jelas: dunia harus merespon terhadap perubahan tersebut secara terintegrasi dan komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan politik global, mulai dari sektor publik dan swasta, sampai akademisi, dan tentunya masyarakat sipil (Tjadrawinata, 2016).
Salah satu hal yang berubah adalah cara menggunakan data. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, karena dapat dilihat sekarang penggunaan tiap individu terhadap data sudah sangat tinggi, hampir semua orang memiliki data dalam setiap perangkatnya (komputer / laptop, smartphone, flashdisk, harddisk eksternal, dll) yang jika dijumlahkan akan menjadi besar sekali. Hal ini dipengaruhi juga dengan mudahnya tiap individu untuk mendapatkan data yang diinginkannya (film, musik, games, foto) melalui internet yang menghubungkan tiap individu di seluruh dunia dengan mudah tanpa terhalang jarak dan waktu.
Sekarang data menjadi hal yang penting dalam menjalankan berbagai hal, antara lain seperti mengetahui tren pasar, mengetahui keinginan konsumen saat ini dan meningkatkan hasil penjualan. Hasil perubahan ini sangatlah besar, data pun diolah dengan lebih terkomputerisasi sehingga penyimpanan beberapa data dapat menghemat tempat dalam kantor perusahaan dengan cara penyimpanan softcopy. Data yang tersimpan ini lama kelamaan menjadi sangat banyak dan besar sehingga semakin susah untuk digunakan dan kemudian disebut sebagai big data. Dengan perkembangan teknologi sekarang, big data sudah dapat diolah dan digunakan lagi, bahkan memberikan hasil yang lebih baik karena mencakup pengolahan data yang ada di dalam media sosial (Situmorang, 2016).
Big Data pada Sektor Kesehatan
Di antara berbagai sektor yang terdampak oleh revolusi teknologi sekarang ini, tampaknya sektor kesehatan adalah sektor yang paling mungkin mendapatkan keuntungan dari bergabungnya sistem fisika, digital, dan biologi, walaupun sektor ini mungkin juga yang paling tidak siap menerimanya. Hal ini diperkuat dari hasil survei terhadap 622 pemimpin bisnis dari berbagai industri di seluruh dunia oleh The Economist Intelligence Unit. Jajak pendapat terhadap para pemimpin bisnis ini menunjukkan bahwa mayoritas yang signifikan dari para eksekutif tersurvei percaya bahwa kesehatan adalah sektor yang akan mendapatkan keuntungan besar dari dampak revolusi teknologi sekarang ini (Tjandrawinata, 2016).
Saat ini teknologi konsumen yang memakai telepon genggam dan alat kebugaran yang dipakai sehari-hari dapat mengumpulkan berbagai data secara detil tentang kesehatan dan status kebugaran seseorang. Data seperti ini berpotensial untuk mentransformasi, tidak hanya kesehatan individual dan keperluan medisnya, namun juga untuk penelitian kesehatan. Bahkan ada suatu studi yang juga dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit mengatakan bahwa 50% dari para dokter percaya bahwa teknologi telepon pintar sangat memberdayakan pasien agar mereka berperan dalam mengatur kesehatan mereka secara proaktif (Tjandrawinata, 2016).
Penggunaan big data pada bidang kesehatan juga terkait dengan usaha untuk mengatasi penyakit pada manusia (Parikesit, dkk, 2017). Salah satu contohnya adalah keberadaan basis data FIND Tuberculosis Strain Bank yang membantu peneliti dalam melakukan uji patogenisitas dan desain obat untuk mengatasi penyakit tuberculosis (TBC) (Tessema et al., 2017). Disisi lain, penelitian terkait penyakit tersebut juga maju pesat dikarenakan keberadaan basis data NGS yang membantu dalam anotasi genom patogen penyebab penyakitnya yaitu Mycobacterium tuberculosis (Skvortsov et al., 2013; Han et al., 2015; Mokrousov et al., 2016). Keberadaan basis data tersebut sebagian besar digunakan untuk desain obat secara in silico dengan memanfaatkan kemudahan sistem daring. Publikasi terkait alur langkah dalam melakukan desain obat secara in silico telah banyak ditemukan.
Ditinjau lebih lanjut, sistem layanan kesehatan merupakan domain dengan intensitas data tinggi di mana sejumlah data dibuat, diuji, disimpan, dan diakses secara harian. Misalnya, data yang dibuat ketika seorang pasien melakukan beberapa uji seperti tomografi, data akan dianalisa oleh seorang radiografer dan dokter. Hasilnya kemudian akan disimpan di rumah sakit, yang kemudian akan dapat diakses sewaktu dibutuhkan. Sayangnya saat ini belum semua rekam medis tersedia dalam bentuk elektronik dan dapat diakses dari rumah sakit atau klinik kesehatan yang berbeda-beda. Dengan demikian seringkali diperlukan lebih dari satu kali uji kesehatan untuk menganalisa gejala yang sama. Hal ini menambah biaya kesehatan yang ditanggung oleh pasien maupun industri asuransi.
Christian Esposito, dkk (2018) mendemonstrasikan bagaimana komputasi awan dapat membantu memfasilitasi berbagi data bersama antar penyedia layanan kesehatan yang menggunakan standar yang berbeda-beda, antara lain: Electronic Medical Records (EMRs), Electronic Health Records (EHRs), dan Personal Health Records (PHRs). Melalui konseptualisasi ekosistem EMR/EHR/PHR berbasis blockchain, ketika sebuah data rekam medis baru dibuat, sebuah blok baru diinisiasi dan didistribusikan ke seluruh jaringan. Blok baru akan dimasukkan ke dalam rantai blok ketika mayoritas peers menyetujui dan mengesahkan. Dengan cara ini, data rekam medis tercatat secara efisien, terverifikasi dan bersifat permanen.
Kaitannya dengan pandemi Corona yang sekarang melanda, penggunaan big data dapat digunakan untuk melacak interaksi pasien positif Corona sehingga penyebaran lebih luas bisa dicegah. Big data yang dikombinasikan dengan sistem informasi geografisjuga bisa digunakan untuk menampilkan jumlah pasien yang positif, pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang dalam pengawasan (ODP) di suatu daerah.
Bacaan lanjutan
Esposito, Christian e. a. (2018). Blockchain: A Panacea for Healthcare Cloud-Based Data Security and Security? IEEE Cloud Computing , 31-37.
Han SJ, T Song, Y-J Cho, JS Kim & SY Choi (2015). Complete genome sequence of Mycobacterium tuberculosis K from a Korean high school outbreak, belonging to the Beijing family. Stand Genomic Sci 10(1), 78-89.
Mokrousov I, E Chernyaeva, A Vyazovaya, V Sinkov & ON Narvskaya (2016). Next-generation sequencing of Mycobacterium tuberculosis. Emerg Infect Dis 22(6), 1127–1129.
Parikesit, Arli Aditya, Dito Anurogo & Riza Arief Putranto (2017). Pemanfaatan Bioinformatika Dalam Bidang Pertanian dan Kesehatan. Menara Perkebunan 2017, 85(2), 105-115.
Situmorang, Zakarias (2016). Pemanfaatan Teknologi Big Data dalam Perspektif Ilmu Komputer dan Kesehatan. Orasi Ilmiah Disampaikan pada Wisuda Akademik Manajemen Informatika Komputer Imelda Dan Akademik Keperawatan Imelda Medan.
Skvortsov TA, DV Ignatov, & KB Majorov (2013). Mycobacterium tuberculosis Transcriptome Profiling in Mice with Genetically Different Susceptibility to Tuberculosis. Acta Naturae 5(2), 62–69.
Tessema B, P Nabeta, E Valli, E Vailli & NH Lan (2017). FIND tuberculosis strain bank: a resource for researchers and developers working on tests to detect mycobacterium tuberculosis and related drug resistance. J Clin Microbiol 55(4), 1066–1073.
Tjandrawinata, Raymond R. (2016). Industri 4.0: Revolusi Industri Abad Ini Dan Pengaruhnya pada Bidang Kesehatan dan Bioteknologi. Working Papers Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Medica Group.