Cerita kemakmuran Belitung begitu sangat fenomenal. Cerita romantis ini bisa dengan mudah kita dapatkan baik dari media maupun dari orang-orang Belitung sendiri. Namun itu adalah masa lalu. Tepatnya di tahun 1970-an, tahun dimana masyarakat Belitung Timur hidup makmur dari menambang timah. Mereka menjadi bagian dari eksploitasi timah yang ada di Belitung. Mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas, lapangan tenis, bowling, golf, pembangkit listrik tenaga diesel terbesar di Asia Tenggara, bioskop dan gratis.
Namun, segala kemudahan tersebut berakhir di akhir tahun 1990-an. Setelah PT. Timah mengatakan bahwa potensi timah di Belitung berkurang, tidak bisa memenuhi produksi lagi, PT. Timah menghentikan kegiatan tambangnya di Belitung dan pindah ke Bangka Belitung tahun 1998, masyarakat Belitung pun mulai mengalami kesusahan. Sebagian dari mereka masih ada yang menambang timah secara mandiri (illegal mining), namun harga timah jatuh.
Dua tahun lalu harga timah masih sekitar Rp100 ribu per kilogram, tapi sekarang turun menjadi sekitar Rp70 ribu per kilogram. Timah tidak bisa lagi dijadikan penopang hidup keluarga. Cerita tersebut saya dapatkan saat saya bertemu dengan Bupati Belitung, Sekretaris Daerah Belitung Timur, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, Organisasi Masyarakat Sipil, Lembaga Adat dan elemen masyarakat lainnya.
Tahun 2017, ironi ini belum juga berakhir. Orang Belitung masih mencari bentuk sumber ekonomi yang dapat mengembalikan kejayaan yang pernah mereka rasakan. Kerusakan alam pulau Belitung juga masih dapat dengan mudah ditemukan. Cekungan-cekungan raksasa bekas penambangan timah ditelantarkan begitu saja. Aktivitas penambangan timah sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Cadangan timah kian menipis, tak mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Melihat mata pencaharian orang Belitung Timur (Beltim) yang terancam, ada sebuah desa yang berupaya untuk menyelamatkan perekonomian warga desa. Desa itu namanya Desa Senyubuk Kelapa Kampit, sekitar 60 kilometer dari Tanjung Pandan, atau sekitar 30 kilometer dari Kota manggar, ibukota Belitung Timur. Kepala Desa Senyubuk, Annasrul Hakim, bermimpi dapat melakukan diversifikasi ekonomi di Desa Senyubuk, salah satunya adalah menjadikan pariwisata sebagai tumpuan perekonomian rakyat. Beliau masih muda, ketika saya bersama rombongan The Asia Pacific Hub Course 2018 berkunjung ke Desa Senyubuk taggal 16 Januari 2018 kemarin, beliau berkata baru 2 minggu menikah. Beliau juga baru beberapa bulan menjabat sebagai Kepala Desa Senyubuk.
Keinginan menjadikan Desa Senyubuk sebagai desa wisata bukanlah tanpa kendala, karena Desa Senyubuk tidak berada di kawasan pesisir, mereka tidak punya pantai. Yang mereka memiliki hanyalah bekas penambangan timah di Open Pit Namsulu, sebuah wilayah yang dulunya digunakan oleh perusahaan tambang asal Australia BHP Billiton (1971-1985) dan kemudian dialihkan ke perusahaan Jerman bernama Preussag GmbH of Hannover, tempat ini oleh mereka digunakan sebagai pusat operasi penambangan timah sampai akhir tahun 1989. Dimotori oleh seorang pemuda yang juga Ketua Komunitas Pecinta Alam & Petualang Belitung Timur, Tino Cristias, dibukalan wisata geopark di Open Pit ini.
Open Pit menjadi unik karena kawasan yang dulunya merupakan area tambang timah ini merupakan tambang dalam, bukan tambang semprot seperti kebanyakan tambang timah di Bangka Belitung. Di area Open Pit ini terdapat sebuah danau besar yang letaknya dalam cekungan raksasa, serta gua bekas penambangan.
Danau di Open Pit ini tidak terlihat dasarnya. Pantulan airnya berwarna hijau turquois. Dikelilingi oleh batuan cadas yang telah ditambang sehingga memberi tekstur yang luar biasa.
Apa yang dilakukan Desa Senyubuk ini sagat menarik. Pemerintah Desa memahami konteks permasalahan desa dan merespon dengan membuat kebijakan yang dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Langkah ini yang belum banyak dilakukan oleh banyak penentu kebijakan di desa. Desa saat ini dibebaskan untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan atau peraturan desa yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga desa.
Desa di Indonesia juga dibekali dengan anggaran yang cukup besar, bahkan dana desa ini dapat dipastikan akan terus bertambah setiap tahunnya. Kepala Desa tidak perlu khawatir terkait sumber anggaran untuk program-program pembangunan desa. Keistimewaan desa yang lain adalah mereka tidak dibatasi dengan harus menerapkan model money follow function dalam merencanakan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa (APBDes), karena apapun program yang direncanakan desa, tidak mempengaruhi jumlah anggaran yang mereka dapatkan (program follow money).
Memang benar, inisiatif Kepala Desa dalam merumuskan kebijakan atau peraturan desa yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga desa belum banyak dilakukan. Sisi inilah yang perlu mendapatkan perhatian ekstra agar kesadaran akan pentingnya produktifitas Kepala Desa dalam menerbitkan peraturan desa semakin berkualitas dan berorientasi meningkatkan kesejahteraan warga desa. Dan dalam konteks Desa Senyubuk, ini juga perlu dilakukan agar mimpi menjadikan pariwisata sebagai tumpuan perekonomian Desa Senyubuk dapat terlaksana dengan baik.
Sementara itu, dari sisi extractivisme, fenomena Desa Senyubuk yang perlu disoroti adalah dampak dari eksploitasi sumber daya alam dan sejarah romantis akan kemakmuran Belitung pada masa eksploitasi ternyata tidak berlanjut saat eksploitasi tidak lagi dilakukan (post-extractive). Belitung mejadi cerita nyata yang dapat dijadikan contoh. Bahkan sampai 25 tahun pasca ekspoiltasi, mereka masih mencari-cari bentuk terbaik untuk mengembalikan kejayaan masa lalu. Belajar dari Belitung, saya melihat bahwa Belitung larut dalam euforia timah dan tidak menyiapkan ekonomi alternatif sejak saat ekploitasi SDA dilakukan, sehingga saat post-extractive, Belitung kelimpungan.
Selain itu, saat Belitung dalam masa transisi dari era timah menuju post-ekstractive, tidak ada pihak yang fokus mengawalnya. Keyakinan pada timah masih sangat besar, namun nyatanya hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan alam dan buruknya kualitas lingkungan yang ditimbulkan.
Kondisi ini bisa saja terjadi di Bojonegoro dan kota-kota tambang dan migas lainnya. Kasus di Bojonegoro tidak lebih baik. Kita semua tahu jika industri migas membutuhkan teknologi tinggi, sehingga serapan tenaga kerja hanya terbatas saat pembangunan fasilitas produksi, setelah fasilitas produksi tersebut selesai dikerjakan (masa eksploitasi), hanya sepersekian persen dari penduduk Bojonegoro yang masih bekerja, sisanya menganggur dan merasakan kelimpungan dalam ekonomi. Berbeda dengan di Belitung, warga Belitung bisa ikut menambang timah sebagai illegal miners dan unconventional miners. Walau risikonya sangat besar. Kasus tersebut harus menjadi perhatian, migas menjanjikan hasil yang lebih besar, namun dalam pelibatan masyarakat (sebagai pekerja) tidak dapat diharapkan terlalu banyak. Maka saat era eksploitasi masih berlangsung, Bojonegoro harus melakukan diversifikasi ekonomi yang tepat. Migas bukanlah sumber daya alam terbarukan (non-renewable resources), migas terbatasi waktu.
Begitu juga Blok Cepu, dengan kandungan minyak mentah sebesar 450 juta barrel dan dieksploitasi sebesar 200 ribu barrel per hari, diperkirakan dalam 6 tahun minyak ini akan habis. Oleh karena itu, saat era ekploitasi dilakukan, Bojonegoro harus dapat mengeksplorasi sumber perekonomian terbarukan yang berbasis pada kreatifitas (Sumber Daya Manusia). Sumber daya ini tidak ada batasnya, kreatifitas akan terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Oleh karena itu, alokasi dana bagi hasil (DBH) migas dan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) diarahkan untuk fokus memecahkan permasalahan bagaimana agar kreatifitas ini dapat bernilai ekonomi perlu terus dilakukan dengan program-program pemberdayaan masyarakat berbasis kreatifitas (Sumber Daya Manusia), sehingga dari sumber daya alam tidak terbarukan tersebut, kita dapat memperoleh manfaat terbarukan (renewable benefits from non-renewable resources) yang dapat menjadi tumpuan ekonomi Bojonegoro di masa depan.