Menjadi bagian dari Ademos berarti merawat semangat gerakan sinau bareng. Ini bukan sekadar tentang berbagi pengetahuan, tetapi juga membangun kesadaran, kolaborasi dan solidaritas dalam menghadapi tantangan, membaca peluang dan membangun ekosistem baru atas dasar inovasi yang relevan. Dan salah satu cara menghadapi tantangan adalah dengan melakukan perjalanan pembelajaran dan membangun kolaborasi di kawasan lain yang memiliki permasalahan sama, namun memiliki inovasi yang berhasil dilakukan.
Gunungkidul, salah satu wilayah di Yogyakarta, dikenal dengan kondisi geografisnya yang berbukit kapur dan curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun. Tantangan utama masyarakat di sini adalah ketersediaan air bersih, terutama di musim kemarau. Dusun Banyumanik, salah satu dusun di kawasan Wonosari, Gunungkidul ini, telah mengembangkan berbagai inisiatif dalam pengelolaan air hujan untuk menjawab tantangan tersebut.
Perjalanan saya dimulai dari Bojonegoro menuju Dusun Banyumanik, menempuh jarak sekitar lima jam perjalanan darat. Sepanjang perjalanan, terlihat lanskap khas Gunungkidul dengan perbukitan kapur yang gersang di musim kemarau. Sama seperti di tempat kami, di Bojonegoro yang selalu menjadi langganan kekeringan ketika kemarau tiba.
Di Dusun Banyumanik, ada satu komunitas bernama Banyumanik Research Center, sebuah komunitas yang berdiri ditengah keterbatasan namun mampu berdiri dengan inisiatif-inisiatif sosial yang dilakukan. Saya bertemu dengan Bu Tutik, salah satu tokoh masyarakat dan pendiri Banyumanik Research Center yang telah lama terlibat dalam pengelolaan air hujan. Ia menjelaskan bahwa air hujan adalah sumber utama bagi warga Banyumanik, karena sumur bor tidak dapat diandalkan akibat lapisan tanah yang berongga dan sulit menyimpan air.
Cerita Bu Tutik yang relate dengan kondisi kami di Bojonegoro adalah sulitnya ngebor air di wilayah tersebut, kalaupun air dapat di bor hanya keluar 4000 liter per jam itupun dengan keadalaman bor yang fantastis yakni lebih dari 100 meter ke bawah tanah, sehingga jika dibagi dengan 24 Kepala Keluarga, usaha pengeboran tersebut hanya mampu membagi 1 gayung kecil per kepala.
Itulah hal yang menjadikan warga Banyumanik untuk bergerak menuju solusi berkelanjutan. Ketika tidak bisa menggunakan sumber air tanah, maka harus ada alternatif sumber mata air lain yang dimanfaatkan. Inilah awal mula gerakan panen air hujan dimulai di Banyumanik.
Di Banyumanik masyarakat telah mengembangkan beberapa teknik pengelolaan air hujan, antara lain:
- Sumur resapan, dibangun di beberapa titik strategis untuk menangkap dan meresapkan air hujan ke dalam tanah. sumur ini membantu mengisi kembali cadangan air tanah.
- Rainwater Harvesting di Rumah Tangga, Banyak rumah memiliki sistem penampungan air hujan menggunakan talang yang dialirkan ke bak besar atau tandon penyimpanan.
- Pembuatan sistem pertanian dan peternakan terpadu, yang menggunakan air hujan untuk perawatan sehari-hari.
Hasil dari upaya ini mulai terlihat. Warga tidak lagi sepenuhnya bergantung pada truk tangki air saat musim kemarau, dan tanaman pertanian tetap bisa tumbuh dengan pengelolaan air hujan yang terpadu. Bahkan, beberapa rumah telah memiliki cukup cadangan air hingga beberapa bulan.
Bu Tutik menuturkan bahwa perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan edukasi dan kerja sama antara warga, pemerintah desa, serta lembaga-lembaga yang membantu mendukung pembangunan sistem pengelolaan air hujan ini.
Meskipun sudah ada kemajuan, tantangan tetap ada. Pemeliharaan fasilitas panen air hujan milik masing-masing warga dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi air juga perlu terus ditingkatkan.
Melihat sumur resapan, aktivitas pertanian dan peternakan serta sistem rainwater harvesting di rumah-rumah warga, saya merasa bahwa perubahan nyata memang bisa terjadi ketika ada kesadaran dan kerja sama. Saya merenungkan bagaimana manusia dan alam bisa saling beradaptasi. Teknologi sederhana, seperti biopori dan tandon penampungan, dapat memberikan dampak besar dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, ada satu momen yang benar-benar menggugah saya. Seorang ibu rumah tangga menunjukkan kepada saya bagaimana ia menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari. Dengan senyum, ia berkata, “Dulu kami harus menunggu truk air, sekarang kami punya cadangan sendiri.” Kalimat sederhana itu penuh makna. Ini bukan hanya soal air, tetapi juga soal kemandirian dan solusi konkret.
Di akhir perjalanan, saya menyadari bahwa upaya pengelolaan air hujan di Dusun Banyumanik adalah contoh bagaimana masyarakat dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan mereka. Ini adalah bukti bahwa dengan inovasi dan kerja sama, permasalahan air dapat diatasi secara mandiri dan berkelanjutan.
Catatan ini menjadi pengingat bahwa air adalah sumber kehidupan yang harus dikelola dengan bijak. Semoga inisiatif ini bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa tantangan bukanlah akhir dari segalanya. Kesulitan justru menjadi pemicu inovasi dan solidaritas. Pengelolaan air hujan di Gunungkidul bukan hanya soal teknik, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dan kesadaran kolektif bahwa sumber daya alam harus dikelola dengan bijak.
Ketika saya meninggalkan dusun ini, saya membawa serta refleksi mendalam tentang bagaimana manusia dapat bertahan, beradaptasi, dan berkembang dalam kondisi yang sulit. Kisah ini adalah pengingat bahwa di balik setiap tantangan, selalu ada peluang untuk menciptakan solusi yang lebih baik.
Semoga cerita ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk lebih peduli terhadap sumber daya alam dan bagaimana kita bisa mengelolanya secara berkelanjutan.