Ilustrasi : tirto.id
Oleh : Tim Ademos
Ademos Indonesia – Tidak hanya masyarakat kota yang mendepat tekanan ketika Covid-19 mewabah, masyarakat desa juga diuji tatanannya. Dalam berbagai kajian, telah disebutkan bahwa pola kehidupan masyarakat desa cenderung bersifat kolektif. Seperti pada temuan Adi Mandala Putra dan kolega (2018) terkait budaya tolong menolong masyarakat pedesaan di Indonesia, setidaknya setiap daerah memiliki term yang berbeda untuk menyebut kegiatan gotong royong. Misal di Jawa, masyarakat mengenal istilah sambatan (Sismudjito, 2016); masyarakat Lampung familiar dengan istilah Sakai Sambayang (Oktariana, 2016); dan masyarakat Sumatera Utara yang akrab dengan istilah Margugu. Pada dasarnya, karakteristik saling tolong menolong inilah yang berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat desa.
Dalam situasi pandemi, kita semua mengetahui bahwa upaya pencegahan virus yang terjadi saat ini cukup berbenturan dengan nilai-nilai masyarakat desa, seperti pembatasan aktivitas yang dilakukan secara massal, maupun larangan mudik untuk berkumpul bersama keluarga. Lantas, bagaimana seharusnya masyarakat desa menghadapi sejumlah imbauan Pusat?
Direktur Manajemen Penanggulanagan Bencana dan Kebakaran Kemendagri Syafrizal melului Okezon.com (25/03) meminta agar masyarakat disiplin mengikuti kebijakan Pemerintah terkait social distancing (yang kemudian oleh WHO dimutakhirkan menjadi physical distancing atau pembatasan jarak secara fisik). Menurutnya, social distancing harus benar-benar dilakulan oleh masyarakat agar memutus rantai penyebaran virus corona atau covid-19. Imbauan ini juga diharapkan dapat dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, termasuk masyarakat desa tentu saja. Sebab jika aturan hanya ketat di perkotaan maka sangat memungkinkan terjadi perpindahan virus dari kota ke desa. Pernyataan ini setidaknya menghadirkan beberapa implikasi bagi masyarakat desa: pertama, mereka juga harus melakukan pembatasan kontak fisik dengan tetangga dan orang sekitar; kedua, masyarakat pedesaan harus bersiap dengan kondisi desa yang sepi karena tidak ada orang-orang yang mudik lebaran; ketiga, masyarakat desa harus siap dengan konsekuensi adanya orang-orang dari kota yang tetap harus pulang karena berbagai kendala.
Pada kasus pembatasan kontak fisik, tentu sulit bagi masyarakat desa yang memiliki budaya gotong royong. Dr. Drajat, salah seorang Sosiolog UNS juga menegaskan bahwa masyarakat Solo, misalnya, memiliki budaya pekewuh atau tidak enakan. Tidak enak jika tidak datang di hajatan tetangga, atau melewatkan kegiatan ibadah bersama dan lain sebagainya (Humas UNS, 2020). Sedangkan untuk imbauan agar tidak mudik baik dari Pusat maupun anjuran Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tidak hanya menimbulkan perasaan bersedih bagi mereka yang gagal pulang; namun juga orang-orang desa yang biasanya sesekali ramai di hari raya terpaksa terancam sepi. Bagaimana pun, dalam konteks saat ini, anjuran ini mungkin memang yang paling baik untuk dilakukan. Meski demikian, kita ketahui bersama bahwa imbauan agar tidak mudik tetap tidak bisa menahan orang-orang. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya kepastian bagi mereka yang tinggal di rantau untuk dapat bertahan hidup sedangkan beragam sumber penghasilan khususnya bagi pekerja sektor informal nyaris hilang. Hal ini dibenarkan oleh Presiden Joko Widodo melalui video conference dari Istana Kepresidenan, Senin (30/03).
Tidak berhenti di sana, narasi mudik sebagai hal terlarang di saat pandemi membuat warga di desa memiliki stigma bagi para pemudik. Seperti pembawa virus dan lain sebagainya. Masyarakat desa yang terbiasa hidup saling menerima dan senang dengan kedatangan tamu, menjadi cukup waspada dengan tetangga yang baru pulang dari luar kota. Hal ini salah satunya terjadi di Desa Sumbermulyo Kecamatan Bambanglipuro Bantul, ketika salah seorang warga yang mengontrak di sana baru saja pulang dari Bandung. Satu keluarga ‘ditolak’ kembali ke kontrakan karena masyarakat merasa was-was. Di satu sisi, hal tersebut baik untuk memutus kemungkinan penyebaran virus. Namun di sisi yang lain, ada aspek kemanusiaan yang dipertaruhkan. Beruntung, PemDes setempat telah siap siaga dengan menyediakan lokasi karantina dan mencukupi kebutuhan keluarga tersebut selama masa isolasi (SuaraJogja.id, Kamis (02/04)).
Desa menjadi bagian yang juga patut mendapat perhatian dalam kerangka Covid-19, bukan hanya dalam aspek kesehatan dan ekonomi, namun juga aspek sosial. Jika imbauan dari Pemerintah tidak diikuti dengan distribusi informasi maupun kebijakan yang tepat, tatanan masyarakat desa sangat rentan goyah. Solidaritas di masa pandemi perlu dinarasikan ulang, seperti bersolidaritas untuk tetap di rumah, dan kooperatif dengan seluruh mekanisme yang telah ditetapkan. Apakah di waktu yang akan datang, pandangan masyarakat desa akan berubah tentang pendatang, dan kerja kolektif yang menimbulkan keramaian?