ademosindonesia.or.id – Batik Bojonegoro atau yang lebih dikenal dengan batik jonegoroan menjadi salah satu ikkon yang sempat nge-trend di Kabupaten Bojonegoro dalam beberapa tahun silam. Meski bukan bagian dari warisan leluhur, banyak perajin-perajin batik baru yang bermunculan. Ketenarannya bermula dari dipatenkannya 14 motif batik khas Bojonegoro. 14 motif tersebut menggambarkan kondisi sosial maupun budaya lokal. Motif-motif tersebut antara lain motif Mliwis Mukti, Sekarjati, Gatra Rinonce, Jagung Miji Emas, Lembu Sekar Rinambat, Pari Sumilak, Rancak Thengul, Sata Ganda Wangi, Dahana Mungal, Belimbing Lining Lima, Pelem Sumilar, Sekar Rosella, Woh Roning Pisang, dan motif Surya Salak Kartika.
Goresan motif-motif tersebut di atas kain putih dipadukan dengan aneka warna-warna khas perajin batik Bojonegoro. Pada umumnya warna-warna batik Bojonegoro memang cenderung lebih menyala dibandingkan dengan warna-warna batik di daerah lain. Jenis warna yang banyak digunakan di Bojonegoro adalah sintetis remasol. Warna sintetis ini tidak bisa diproduksi sendiri sehingga harus didatangkan dari luar wilayah. Selain harus mendatangkan bahan warna dari luar wilayah, dampak penggunaan warna sintetis terhadap lingkungan juga perlu dipertimbangkan. Atas pertimbangan-pertimbangan inilah ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) bersama mitranya Ademos menginisiasi kegiatan Pelatihan Pewarnaan Alam kepada perajin batik Bojonegoro dalam program promosi ekonomi kreatif melalui pengembangan industri batik Bojonegoro. Mereka yang dilatih merupakan penerima manfaat program pendukung operasi EMCL sejak tahun 2012.
Dalam pelatihan tersebut perajin belajar tentang pemrosesan pasta indigo dari daun tom hingga menjadi pasta. Mereka berlatih bersama seorang perajin batik khas warna alam bernama Widodo Simbolon dari Kabupaten Kulonprogo. Untuk menjadi pasta, daun tom harus melewati proses fermentasi, pengeburan dengan air kapur kemudian ditunggu hingga mengendap dan disaring airnya. Endapan tanpa air inilah yang disebut dengan pasta indigo.
Selain proses pembuatan pastanya, perajin juga belajar tentang bagaimana mengaplikasikan warna tersebut ke dalam kain dengan cara dicelupkan ke dalam larutan indigo pasta yang sudah dicampur dengan serbuk hidro, tunjung, tape ataupun tetes tebu. Tanpa disadari, daun tom yang merupakan bahan utama pembuatan indigo vera banyak tumbuh secara liar di Bojonegoro. Karena itu sangat mungkin bagi para perajin batik Bojonegoro untuk membudidayakan tanaman ini dan meracik warna sendiri dengan ilmu yang sudah didapatkan di pelatihan.
Selain warna indigo ada bahan-bahan warna lain seperti jolawe, tingi, jambal, mahoni dan bahan-bahan warna alam lainnya. Masing-masing bahan mempunyai kandungan warna yang khas dan tidak bisa ditiru oleh pewarnaan sintetis manapun. Sehingga ia cenderung ditawar mahal di pasar nasional. Bagusnya lagi, untuk mendapatkan warna yang variatif sama halnya dengan warna sintetis, warna-warna alam ini juga bisa diaplikasikan dengan sistem coletan. Sehingga warna yang dihasilkan beragam.
Dengan menginisiasi penggunaan warna alam pada batik Bojonegoro, EMCL serta Ademos berharap bahwa perajin-perajin binaan dapat menjadi pelopor perajin batik yang cinta dan ramah dengan lingkungan. (adm)