Oleh: Ananing Nur Wahyuli *)
ademosindonesia.or.id – Sebuah amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertera dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu pekerjaan penting bagi Negara Indonesia. Mengingat di masa pra merdeka, yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan hanyalah putra pribumi yang mana orang tuanya memiliki relasi yang baik dan memiliki peran dalam membantu pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Atas dasar itu maka lahirlah sebuah Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemerataan ini berarti bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan.
Di kota-kota kecil di Indonesia, pendidikan dihadirkan dengan wajah yang berbeda, sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Pemerataan fasilitasnya pun tentu berbeda. Fasilitas pendidikan di kota memiliki perbedaan dengan yang ada di desa. Sementara itu, fasilitas pendidikan yang ada di desa induk juga memiliki perbedaan dengan wilayah dusun. Demikian halnya yang terjadi di salah satu desa di Kabupaten Bojonegoro. Di suatu wilayah perdusunan di Desa Turi Kecamatan Tambakrejo Kabupaten Bojonegoro, ada satu sekolah dasar negeri (SDN) yang terletak di wilayah pegunungan di tengah hutan. Keberadaan SDN IV Turi ini tentu merupakan suatu bentuk usaha untuk melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia. Sekolah tersebut didirikan untuk memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak yang berdomisili di dusun tersebut yang mana letaknya jauh dari desa induk. Kondisi infrastruktur yang belum memadai menjadi kendala bagi mereka untuk mengakses pendidikan di desa induknya.
SDN Turi IV berdiri dengan gedung dan fasilitas seadanya. Pengerjaan gedung utama yang tak kunjung selesai, mengakibatkan siswa-siswi di sana melakukan aktivitas pembelajaran di gedung darurat di ruang terbuka tanpa dinding dan alas yang masih berupa tanah. Berdasarkan penuturan salah satu guru di sana, pengerjaan gedung sekolah terpaksa dihentikan karena perhitungan rencana anggaran yang salah sehingga mengakibatkan kerugian bagi kontraktor yang melakukan pengerjaan gedung. Diperkirakan membengkaknya ongkos pembangunan terletak pada biaya transportasi pengadaan bahan dan material bangunan. Akses jalan yang masih sulit menyebabkan biaya transportasi membengkak sehingga pengerjaan bangunan terpaksa dihentikan.
SDN IV Turi terletak sekitar 15 kilometer dari pusat Desa Turi. Kondisi jalan yang ditempuh kira-kira 5 kilometer berupa jalan aspal dan 10 kilometer jalan hutan berupa bebatuan. Dua tahun terakhir akses menuju SDN IV Turi mulai membaik. Berkat dukungan pemerintah desa, jalan yang sebelumnya berlumpur hari ini sudah bisa dilewati meski saat musim hujan. Sebelum ini, akses ke wilayah dusun masih berupa tanah liat yang kecil kemungkinannya untuk bisa dilewati ketika musim hujan tiba.
Gambaran di atas tentu cukup mewakili bagaimana perbedaan antara SDN Turi IV dengan sekolah-sekolah lain yang berada maupun berdekatan dengan desa induk. Siswa-siswi di sana dibebaskan untuk memakai seragam yang mereka punya. Tidak harus bagus, asalkan mereka masih bisa mengenakan seragam. Uniknya lagi, tidak ada satu siswa pun yang menggunakan sepatu. Beberapa di antara mereka berjalan tanpa alas kaki dan sebagian lagi menggunakan sandal. Tidak ada buku bacaan lain yang bisa dibaca oleh mereka, melainkan buku-buku pelajaran yang diberikan oleh pemerintah secara terbatas. Tentu kondisi ini justru membatasi akses mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Melihat kondisi yang demikian, sekelompok pemuda desa yang tergabung dalam komunitas sinau bareng tergerak untuk memberikan uluran kepedulian untuk mereka. Anggota komunitas sinau bareng ini memiliki beragam latar belakang mulai dari guru, perawat, bidan, pendamping desa, hingga mahasiswa. Tak banyak yang bisa mereka lakukan, akan tetapi langkah ini merupakan satu bentuk tanggung jawab mereka sebagai anak muda untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak di Bojonegoro pada khususnya. Aksi komunitas ini mendapat perhatian dari banyak pihak baik secara perorangan maupun lembaga. Aksi komunitas ini tersebar luas di sosial media sehingga ia mampu mengundang banyak pihak dari berbagai daerah dan beragam profesi untuk turut berkontribusi memberikan donasi untuk siswa siswi SDN IV Turi. Mereka memberikan donasi dalam berbagai bentuk, antara lain berupa peralatan tulis, seragam, sepatu dan sejumlah uang tunai. Selain dari perorangan, ada juga lembaga yang turut berkontribusi. Lembaga tersebut adalah Yayasan Mannah. Suatu yayasan yang didirikan untuk membangun dan mengembangkan pendidikan yang ada di wilayah Kabupaten Bojonegoro ini, memberikan bantuan berupa tas sekolah serta buku dan alat tulis. Yayasan Mannah secara mandiri didukung oleh Menteri Sekretaris Negara, Bapak Pratikno beserta keluarga (di Bojonegoro). Berdirinya yayasan ini merupakan bentuk kepedulian Bapak Pratikno beserta keluarga untuk memajukan sektor pendidikan khususnya di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
*) Penulis adalah Guru di MAN 1 Malang dan Kader Sinau Bareng Ademos.