Satu minggu yang lalu (31/10) Ademos mengirim salah satu kadernya ke Kabupaten Kebumen untuk menghadiri rutinan Sarasehan Gotong Royong Meluruskan Jalan Desa. Ini merupakan kali kedua sarasehan ini digelar. Sarasehan pertama berlangsung di Sanggar Maos Tradisi Sleman Yogyakarta pada 21 Juli 2018 lalu. Sarasehan kedua digelar di Kabupaten bersamaan dengan launching integrasi data kemiskinan desa dengan Kabupaten Kebumen. Sarasehan ini merupakan bentuk gotong royong Sembilan Lembaga sosial yang peduli terhadap jalan dan perjalanan desa sejak disahkannya Undang-undang No. 06 Tahun 2014 tentang Desa. Pesan-pesan yang dituangkan ke dalam Undang-undang Desa oleh para penggagasnya sejak pelaksanaannya selalu dipantau apakah sudah sesuai dengan maksud dan tujuan awal perumusannya ataukah sudah membelok jauh dari jalan lurus yang sudah dirancang dahulu. Karena itulah Sembilan lembaga menginisiasi sarasehan ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk memantau pelaksanaan undang-undang tersebut serta mengidentifikasi capaian-capaian serta kendala-kendala yang dialami oleh desa sejak undang-undang tersebut disahkan.
Sarasehan pertama menghadirkan berbagai unsur yang terlibat langsung pelaksanaan undang-undang desa seperti kepala desa, perangkat desa, pendamping desa serta unsur-unsur lainnya tokoh-tokoh penggagas yang berada di sekitar wilayah Yogyakarta. Dari hasil sarasehan pertama, ada beberapa poin penting yang menjadi sorotan. Poin-poin tersenbut antara lain problem tentang kebijakan yang lahir dan berdampak pada Rancangan Anggaran Desa. Selain itu, keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pegiat desa khususnya pemerintah desa adalah terjebaknya mereka kepada kepentingan administrasi yang harus dipenuhi oleh desa sebagai bentuk tanggung jawab atas penggunaan dana yang sudah ditransfer kepada desa. Akibatnya, banyak desa yang sibuk dengan administrasi dan melupakan substansi.
Tidak jauh berbeda dengan sarasehan yang pertama, sarasehan gotong royong yang kedua ini menghadirkan unsur-unsur pegiat desa yang bersentuhan langsung dengan undang-undang desa yang berada di sekitar wilayah Kabupaten Kebumen. Di antaranya yang hadir adalah kepala desa, unsur-unsur pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten dan para relawan yang peduli terhadap perkembangan desa. Poin-poin hasil diskusinya pun tidak jauh berbeda dengan sarasehan yang pertama. Bahwa yang banyak dikeluhkan oleh pemerintah desa adalah perkara administratif yang justru menghilangkan substansi membangun desa. Pengawasan yang super ketat yang dilakukan oleh supradesa justru menciutkan nyali desa untuk bergerak lebih aktif untuk melakukan inovasi-inovasi. Selain itu regulasi yang baru-baru ini terbit tentang sistem padat karya tunai yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri juga turut menggerus budaya gotong royong masyarakat desa. Regulasi-regulasi yang datangnya menyusul oleh pemerintah desa justru dianggap terlalu membatasi ruang gerak pemerintah desa dalam melakukan pembangunan, misalnya dengan munculnya peraturan kementerian desa tentang prioritas penggunaan dana desa seketika membuat desa kebingungan karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang sudah terlanjur disusun harus mendadak diubah.
Sunaji Zamroni direktur Institute For Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta memahami apa yang dikeluhkan oleh pemerintah desa di Kabupaten Kebumen, karena hal yang serupa juga didengar dari desa-desa lain di beberapa Kabupaten di Indonesia.
“Sembari kita menunggu masalah-masalah ini kita selesaikan di pusat, desa tetap harus melakukan gerakan-gerakan agar desa mengalami kemajuan. Dengan adanya permasalahan ini jangan sampai desa justru tidak melakukan apapun,” Tambahnya
Ademos dalam forum-forum sinau bareng pemerintah desa juga selalu menegaskan bahwa pergerakan desa itu seharusnya tidak banyak dibatasi atau dalam istilah yang biasa kami gunakan adalah “gas pol rem blong” karena dengan begitu akan muncul praktek-praktek baik dari desa. Timbulnya peraturan-peraturan baru yang menyusul kemudian mengindikasikan bahwa pemerintah pusat belum percaya sepenuhnya kepada desa, padahal ketidakpercayaan ini justru dapat menghambat percepatan pembangunan di desa. (adm)