Ademos Indonesia – Melakukan inovasi sosial memang tidak mudah, apalagi ketika anda berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat sulit punya motivasi untuk berubah karena sudah sangat tertindas secara struktural dan kultural. Meskipun demikian, bukan berarti inovasi sosial di lingkungan seperti itu tidak mungkin dilakukan. Tulisan ini akan coba membahas bagaimana mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya melakukan inovasi sosial di bantaran Kali Code.
Mengutip Rizky Alif Alvian (2015), Yusuf Bilyarta Mangunwijaya memiliki banyak wajah. Ia adalah pemikir, rohaniawan, arsitek, aktivis dan sastrawan sekaligus. Meski demikian, semua wajah itu disatukan oleh satu hal, yakni komitmen Romo Mangun___sapaan akrab Yusuf Bilyarta Mangunwijaya___terhadap kemanusiaan. Romo Mangun selalu mengharapkan agar kelak umat manusia bisa hidup dalam perdamaian dan persaudaraan; di sebuah dunia dimana penindasan tak ada lagi.
Romo Mangun sebagai seorang anak yang mampu mengenyam pendidikan hingga dia dewasa, mempunyai keinginan kuat untuk mengabdikan dirinya pada agama yang dianutnya dan mengabdikan dirinya kepada bangsa Indonesia sehingga setelah masa pendidikannya selesai di Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli di Yogyakarta, ia ditasbihkan sebagai pastur oleh Uskup Monseignour Soegijapranata SJ (tokoh yang dikaguminya) pada tanggal 8 September 1959.
Ketika memilih menjadi Pastur. Ia sadar bahwa ia akan hilang kesempatannya untuk menjadi “orang terhormat dengan rumah besar, mobil bagus dan istri cantik” sebagaimana dibayangkan kaum remaja pada masanya. Tapi “benih” yang ditanam ayahnya telah tumbuh kuat oleh perang, ia percaya bahwa pekerjaan paling mulia baginya ialah mempersembahkan hidupnya bagi rakyat menderita dan jalan yang paling tepat untuk itu ialah menjadi pastur, agar ia tak perlu tergoda mencari “uang” dan “kekuasaan”, sehingga ia dapat mencurahkan seluruh tenaganya untuk mewujudkan “cinta kasih”.
Oktavia Damayanti (2017) menuliskan bahwa pada tahun 1980 Romo Mangun berhenti menjadi dosen setelah sempat mengajar di program studi Arsitektur UGM, keluar juga sebagai Paroki dan memutuskan tinggal dan berkarya sebagai pekerja sosial di pemukiman “hitam” Kali Code Yogyakarta sampai melakukan mogok makan untuk menolak rencana penggusuran. Tahun 1986-1988 ia berkarya di Grigak Gunungkidul, mendampingi penduduk setempat dalam program lingkungan hidup dan pengadaan air bersih. Serta ia mendampingi warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk.
Romo Mangun perhatian pada pendidikan dasar untuk anak-anak, bukan hanya di dunia pendidikan tetapi Romo juga membantu dan berani berdiri di depan untuk menolak rencana penggusuran terhadap 30-40 keluarga yang menghuni kawasan kumuh Kali Code. Ia pun rela mogok makan untuk menolak penggusuran itu. Dengan lantang ia menyuarakan ke pemerintah daerah yang hendak melakukan penggusuran bahwa masyarakat Kali Code bisa memperbaiki pemukimannya sendiri asal diberi kesempatan.
Setelah hari itu banyak bantuan yang diberikan Romo kepada para penghuni kampung Code, yaitu mulai dari mengubah mentalitas membuang sampah sembarangan di bantaran Kali Code, menjadi di tiadakan, Inisisasi perbaikan tata pemukiman dan lingkungan Kali Code sehingga hasilnya kawasan itu menjadi bersih dan tertata, dan bersama temannya Romo Mangun mendirikan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) merupakan wadah pemberdayaan masyarakat dalam bidang lingkungan dan pendidikan.
Bagi warga Kali Code, Romo Mangun banyak meninggalkan pelajaran berharga untuk mereka, walaupun Romo Mangun tidak pernah dilahirkan di daerah tersebut tetapi Romo membantu dengan ikhlas dan tulus untuk kepentingan warga tersebut, hal yang selalu Romo Mangun tekankan untuk masyarakat sekitar adalah selalu belajarlah untuk apapun hal yang bisa diambil pelajaran baiknya dan terapkan hal tersebut untuk kehidupan keluarga sendiri, sebarkan ke kehidupan warga sekitar.
Tindakan lain yang dilakukan Romo Mangun sebagai kepedulian terhadap mereka yang lemah dan tersingkir ditunjukkan dalam berbagai tulisan. Lewat tulisan, Romo Mangun memberikan kritik maupun pendapat terhadap sesuatu yang tidak benar, serta penjernihan dan pembelaan terhadap para korban yang menjadi kambing hitam suatu masalah.
Mneurut Oktavia Damayanti (2017) banyak juga kegiatan-kegiatan lain yang Romo Mangun selama membela masyarakat Kali Code. Mulai dari memberikan pelatihan menjahit, berkebun dan lainnya, supaya warga Kali Code punya penghasilan karena banyak yang masih buta huruf pada waktu itu. Rumah-rumah di Kali Code yang dibangun Romo Mangun murni menggunakan uang beliau sendiri bukan bantuan LSM.
Romo Mangun sering datang ke setiap rumah warga Kali Code untuk memperhatikan warga, salah satu yang Romo ajarkan ketika berkunjung ke rumah-rumah warga adalah untuk tidak membuang makanan, karena menurutnya membuang makanan sama saja tidak bersyukur. Romo Mangun juga merancang rumah warga Kali Code untuk dihadapkan ke kali karena jika setiap kali warga mengahadapkan diri ke kali dan kali berada dalam keadaan kotor maka warga yang memandang akan merasa perlu untuk selalu membersihkan kali, karena kali adalah halaman rumah mereka.
Cerita Romo Mangun dalam melakukan inovasi sosial di Kali Code memang sangat inspiratif, tetapi tidak serta merta bisa di salin-tempel di segala tempat dan kondisi. Romo Mangun melakukan inovasi sosial di daerah urban yang termarginalkan, artinya ketika anda ingin melakukan inovasi sosial di daerah-daerah yang lebih rural tentu saja perlu ada kontekstualisasi. Karena justru dengan terus melakukan pembaharuan dan kontekstualisasi maka gagasan-gagasan Romo Mangun akan terus hidup serta membantu memanusiakan manusia lebih banyak lagi. ( Tim Ademos )