Oleh : Ahmad Shodikin*
A. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini perbincangan tentang kelas menengah kembali menyeruak di tengah pesona pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai media di tanah air memberitakan bahwa Indonesia kedatangan 7 juta kelas menengah setiap tahun. Headline news itu didasarkan pada hasil kajian Bank Dunia yang mengatakan, di antara 237 juta (hasil sensus 2010) penduduk Indonesia, sebesar 56,5 persen sudah tergolong “Kelas Menengah”. Bank Dunia juga melansir berita yang cukup menarik tentang pola hidup kelas menengah pada tahun yang sama pula (2010). Untuk belanja pakaian dan alas kaki saja sudah mencapai Rp. 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa Rp. 194,4 triliun, dan belanja luar negeri Rp. 59 triliun. Angka-angka belanja mereka itu memang luar biasa. Dengan kata lain, pola hidup konsumtif kelas menengah baru itu telah menyumbang sekira 70 persen pertumbuhan ekonomi nasional.
Media massa juga memberitakan suasana Bandara Soekarno-Hatta, semakin sesak oleh penumpang kelas menengah yang berkeliaran datang dan pergi setiap hari. Kapasitas bandara Soekarno-Hatta yang hanya untuk 18 juta, sepanjang Januari-Oktober 2011 telah melonjak tajam menjadi 41 juta. Belum lagi bagaimana kelas ini berduyun-duyun dan rela antre berjam-jam untuk mendapatkan barang-barang mewah seperti smartphone terbaru dan juga mendapatkan tiket pertunjukan artis penggemarnya yang dari luar negeri. Dan baru-baru ini kita disuguhi bagaimana perusahaan mobil sudah mendapatkan pesanan ribuan mobil murahnya (LCGC) dari pembeli meskipun mobil tersebut belum diproduksi.
Fenomena yang dikatakan banyak kalangan sebagai lahirnya kelas baru yang dinamakan “Kelas Menengah” di Indonesia ini memunculkan dua permasalahan besar yaitu apa yang bisa diharapkan dari keberadaan kelas menengah ini dan bagaimana peran kelas ini sebagai “agen perubahan sosial”.
Jawaban dari dua permasalahan ini menjadi fokus pembahasan tulisan kali ini dengan tujuan kita bisa mengetahui apa yang dilakukan oleh kelas ini dan apa yang bisa diharapkan dari kiprahnya, apakah bisa sebagai “agen perubahan sosial”. Apakah ada kesesuaian antara apa yang diharapkan (harapan) dengan apa yang dilakukan (fakta). Kalau tidak ada apa yang seharusnya dilakukan oleh kelas ini ke depannya.
B. PEMBAHASAN
Membicarakan kelas menengah Indonesia, baik di kalangan intelektual maupun masyarakat umum, secara implisit dan eksplisit kerap tersua harapan akan peranan yang dapat dimainkan oleh kelas sosial ini sebagai “agen perubahan sosial”. Dalam konteks ini, yang dimaksud biasanya adalah agen pembawa modernisasi, demokratisasi, dan kesejahteraan. Harapan yang dapat dikatakan sudah menjadi semacam harapan “normatif” ini tumbuh dari perbandingan dengan masyarakat negeri-negeri industri maju di dunia barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Mengacu pada pengalaman industrialisasi dan modernisasi Dunia Barat sejak tercetusnya revolusi industri dan revolusi perancis sekitar dua abad silam, munculnya kelas menengah kapitalis yang kuat memungkinkan lahirnya suatu proses demokrasi secara menyeluruh.
Tetapi meskipun acuan seperti itu bagi Indonesia bersifat ahistoris dan tidak memperhatikan konteks sosial politik dan budaya masyarakat Indonesia, sehingga banyak yang kesulitan untuk mendefinisikan dan memberi batasan ruang lingkupnya. Namun faktanya harapan kelas menengah Indonesia sebagai agen perubahan sosial sepanjang waktu itu nyata dan terus menerus menggema didengungkan dan dibicarakan. Keberadaannya tidak luput dari peran dan kiprahnya dalam sejarah perubahan sosial di Indonesia mulai zaman sebelum kemerdekaan sampai zaman reformasi sekarang ini. Kalau ada kemajuan sosial ekonomi dan budaya, kesimpulan umumnya mengatakan kelas menengah bergairah, sebaliknyapun juga demikian.
Kemudian di tengah ketiadaan sejarah sosial dan definisi kelas menengah untuk Indonesia di satu sisi dan adanya harapan dan anggapan nyata akan keberadaan kelas menengah di sisi lain, lalu bagaimana intelektual dan masyarakat umum mendefinisikan pengertian kelas menengah tersebut. Akhinya muncullah ukuran atau standart umum dari Bank Dunia yang mudah dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. Ukuran tersebut adalah berdasarkan angka pengeluaran seseorang perhari. Menurut Bank Dunia bahwa seseorang yang berpengeluaran sehari antara 2 – 20 dolar (Rp. 20.000-an – 200.000-an) termasuk dalam kategori kelas menengah. Untuk lebih sederhana ada yang memetakan lagi bahwa kelas menengah ini adalah kelompok masyarakat dengan pendapatan berkecukupan serta memiliki kelebihan pendapatan kira-kira sekitar sepertiga dari pendapatan. Dan, kelebihan pendapatan tersebut digunakan untuk beragam aktivitas, dari konsumsi barang-barang tersier, rekreasi, pendidikan tinggi hingga investasi.
Harapan lain akan kiprah kelas menengah sebagai ‘agen perubahan sosial” tersebut seiring juga semakin pesatnya jumlah kelas menengah akhir-akhir ini. Pesatnya jumlah ini tidak luput dari desain teori modernisasi yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru dan khususnya kebijakan deregulasi ekonomi, debirokratisasi, dan liberalisasi ekonomi. Hasilnya muncullah kelas sosial baru yang makmur secara material. Kelas sosial baru atau yang disebut oleh sebagian pengamat sebagai golongan atau lapisan sosial baru ini kian hari tampak semakin bertambah, baik dari segi jumlah maupun kemampuan material. Apakah kelas ini dapat berperan sebagai “agen perubahan sosial” dan sejauhmana peran yang dimainkannya dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial Indonesia, mari kita simak kecenderungan, fakta-fakta kiprah atau sepak terjang kelas menengah baru Indonesia di bawah ini.
Pertama, dari segi sosial ekonomi, ternyata kelas menengah ini mayoritas berada di perkotaan bukan di pedesaan. Sebagaimana diketahui, Indonesia sejak akhir 1960-an mulai memasuki proses industrialisasi. Industri yang saat itu berkembang pesat di wilayah perkotaan melahirkan kelas pengusaha dan profesional. Perkembangan tersebut diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terutama pada awal tahun 1990-an hingga 1997, dengan GNP riil sebesar 7 persen per tahun. Dampaknya arus urbanisasi merajalela dan diferensiasi pekerjaan di perkotaan semakin beragam dan semakin meningkat jumlahnya. Misalnya pada periode 2003-2007, penduduk Indonesia yang bekerja di bidang jasa asuransi dan perbankan naik sebesar 16,7 persen. Perkembangan ekonomi, industri, serta diferensiasi pekerjaan di kota inilah yang kemudian melahirkan kelas ekonomi baru yang semakin makmur yang dikenal dengan kelas menengah di Indonesia.
Dampaknya, kelas menengah yang tidak merata tersebut melahirkan ketimpangan ekonomi antara kota dan desa di Indonesia semakin tajam, urbanisasi semakin meningkat, dan citra pekerjaan yang menarik minat para pemuda desa adalah citra indoor dan modern ala perkotaan. Dan akhirnya desa semakin tertinggal, sumber daya manusia desa yang unggul banyak yang lari ke kota mencari keberuntungan. Pekerjaan di desa yang bisa mengimbangi gaya kelas menengah kota adalah PNS dan sebagian pedagang grosir desa.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang diupayakan Korea Selatan dalam membangun kelas menengahnya. Di Korea Selatan, Presiden Park Chung Hee membangun negaranya dengan menggunakan basis politik kelas menengah di pedesaan, sekaligus menawarkan pemikiran bahwa kelas menengah tidak hanya bisa dibangun dari kota.
Kedua, dari segi sosial budaya, ternyata kelas menengah ini memiliki budaya konsumerisme dan bergaya hidup tinggi bukan berbudaya produktif. Budaya dan gaya hidup dengan ekonomi memiliki kaitan yang erat sekali. Bentuk budaya seseorang berdampak pada sasaran pangsa pasar. Demikian pula adanya barang-barang produksi tertentu yang mewah, berdampak pada citra budaya atau gaya hidup kelas tertentu. Seiring dengan gencarnya modernisasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, berdampak pada besarnya pendapatan dan pengeluaran kelompok tertentu. Kelompok atau kelas yang berpendapat dan berpengeluaran tinggi ini lambat laut bertambah besar. Dan kelompok ini sudah melampaui kebutuhan-kebutuhan pokoknya seperti papan, pangan dan sandang. Kelompok ini tidak hanya makan dan kenyang, tapi faktor gizi, organik tidaknya, dan tempat makan menjadi pertimbangan penting. Menurut data pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi domestik, inflasi yang rendah, dan tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 6,5 persen dengan tingkat inflasi hanya 3,79 persen, dan pada tahun 2013 ditargetkan antara 6,8 hingga 7,2 persen. Indikator lain adalah penjualan kendaraan bermotor pada 2011 yang tumbuh 20,68 persen (mobil) dan 13,27 persen (sepeda motor). Dari sisi penjualan eceran, bahan makanan, pakaian, dan perlengkapan rumah tangga, terus-menerus mengalami peningkatan empat kali lipat sejak awal tahun 2012. Dan tingkat konsumsi tertinggi adalah dari kelas menengah ini.
Meskipun demikian, peningkatan konsumsi ini tidak diikuti oleh daya produksi kelas ini. Apalagi kelas ini lebih memilih produk-produk luar negeri daripada produk dalam negeri. Sesuatu yang berbau luar negeri menjadi simbol kemajuan dan kemodernan. Sehingga tetap produk-produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk luar negeri, meskipun dari segi kualitas sama ataupun tidak malah kalah.
Ketiga, dari segi sosial politik, ternyata kelas ini memiliki partisipasi politik yang rendah bahkan sampai apolitis. Terkait persoalan sosial politik, sebagian besar kelas ini enggan berpartisipasi aktif dalam berbagai organisasi sosial politik. Artinya, mereka kurang termotivasi untuk melakukan perubahan sosial melalui organisasi. Namun, mereka terus memantau berita-berita aktual, di mana isu-isu politik acap kali menjadi berita utama. Terlebih pada kasus-kasus yang melibatkan nama-nama tokoh besar, seperti kasus Bibit-Chandra, kasus ”Bank Century”, kasus ”Gayus Tambunan”, kasus ”Nazaruddin”, kasus ”Angelina Sondakh”, dan seterusnya. Ada tokoh, ada masalah, seolah ada alur cerita yang disajikan secara serial, terus-menerus menjadi berita utama, dan mereka berharap ada klimaks sebagai akhir penayangan kasusnya. Maklum, kebangkitan kelas menengah dalam politik sempat menjadi kalimat penanda ketika Soeharto berhasil ditumbangkan dari tampuk kekuasaannya lewat demonstrasi besar tahun 1998. Terlebih, ketika demokrasi liberal kemudian diterapkan di Indonesia dengan pemilihan umum yang bebas tahun 1999, lalu diikuti pemilu langsung anggota parlemen dan presiden sejak tahun 2004, dan berikutnya pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun 2005. Pengadopsian demokrasi dengan menerapkan prosedur-prosedur yang menjamin kebebasan memilih seolah menggambarkan pesatnya perubahan ideologi kelas menengah dari konservatif menjadi liberal. Namun, 14 tahun setelah reformasi, pertanyaan sebaliknya justru layak diajukan. Apa yang terjadi dengan kelas menengah kita saat ini? Di tengah ketegangan sosial yang memburuk dan banyaknya pejabat yang korup, kelas menengah lebih suka antre mengejar diskon telepon genggam merek Blackberry daripada membentuk barisan menegakkan pilar demokrasi. Survei Litbang Kompas yang dilakukan Maret-April 2012 memperlihatkan, semakin tinggi kelas sosial, semakin banyak mereka mengoleksi semua ornamen dan aktivitas gaya hidup. Di satu sisi, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme. Akankah mereka seperti yang dikatakan Marx, sebagai parasit yang menempel dalam tubuh kapitalisme, kelas yang tidak memiliki kehendak mengubah tatanan secara revolusioner, karena merasa berkecukupan dan tunduk pada rasa aman?
Dari ketiga segi tersebut ternyata kelas menengah ini tidak ada yang sadar diri sebagai kelas atau dengan kata lain “kesadaran subyektif”. Yang ada adalah secara empiris mereka “ada” karena jumlahnya memang semakin banyak. Secara sosial dia menjadi nyata. Secara budaya dia tampak menonjol dan secara politik dia menjadi berpengaruh. Mereka hanya sadar bahwa keberadaan kelompoknya harus membedakan diri dengan kelas bawahnya dan selalu meniru dan beranggapan sebagai kelas elit.
C. KESIMPULAN
Kelas menengah Indonesia jumlahnya terus bertambah seiring pertumbuhan ekonomi, pendidikan yang lebih baik, dan naiknya kelas sosial masyarakat. Pertambahan jumlah kelas menengah tersebut yang diharapkan membawa perubahan sosial ternyata tidak seperti fakta yang terjadi. Kesenjangan antara harapan dan fakta kelas menengah baru di Indonesia ini melahirkan proyeksi apa yang seharusnya dilakukan ke depan. Sehingga kesenjangan atau ketimpangan tersebut semakin berkurang atau bahkan bisa hilang. Adapun proyeksi yang seharunya dilakukan tersebut antara lain :
- Tumbuhnya kelas menengah dengan gaya hidup dan pola konsumsinya yang tinggi dapat diarahkan menjadi hal yang bersifat produktif seiring dengan bergesernya ekonomi ke arah ekonomi kreatif. Perubahan gaya hidup kelas menengah untuk menggunakan kembali produk lokal dapat bermakna positif bagi berkembangnya usaha kecil-menengah dan tumbuhnya kewirausahaan di berbagai tempat termasuk pelosok desa untuk menangkap kebutuhan gaya hidup kelas menengah ini. Dan juga sedikit demi sedikit akan merubah pandangan bahwa sesuatu yang dari lokal adalah tidak berkualitas.
- Partisipasi politik yang rendah dan enggan mengorganisir diri dengan apa yang mereka suarakan melalui media-media sosial sebagai bagian dari partisipasi politik menunjukkan bagaimana keberanian mereka sangat terbatas. Jangankan untuk turun jalan melakukan demonstrasi, untuk berkumpul dan berorganisasi membangun kesadaran mereka seakan tidak memiliki waktu. Karena itu, memberdayakan peran serta mereka dalam pembangunan mesti terus didorong dan diupayakan. Geliatnya memang sudah mulai tampak dari “ngocehnya‘ golongan kelas menengah melalui dunia maya. Tentu, perubahan tidak cukup hanya dengan “kicauan‘ dan berteriak soal jalan berlubang, kemacetan yang merajalela, gorong-gorong yang berbau. Perubahan membutuhkan aksi nyata yang konkret. Dari susunan rencana yang sistematis hingga output dan outcame yang terukur. Tidak mestinya jalannya dengan masuk dunia politik, meski perubahan bisa dimulai dari bilik suara. Keengganan mereka harus ditampar, agar kelas berkantong tebal dan berpendidikan tinggi ini mau berpikir tentang kesejahteraan orang lain, bukan hanya dirinya. Getol sekali mereka berkicau, tetapi apalah arti kicauan tanpa turun langsung menjadi motor perubahan.
Dalam konteks perubahan inilah, kelas menengah harus mampu menjadi cendekiawan, yang dalam pengertian Gramsci disebut The Organic Intellectuals. Kelompok penyemai ide-ide pembaruan yang sekaligus memiliki kemampuan menautkan ide-idenya dalam visi dan aksi yang konkret. Sehingga, mereka memiliki emansipasi dan kontribusi yang jelas dalam membangun peradaban. Bukan hanya sebagai pengkritik tajam yang berteriak lantang dari media sosial namun enggan bergumul dengan risiko. Sudah saatnya mereka turun panggung membangun kesadaran bersama demi perubahan yang lebih baik.
*Aktivis Ademos