ademosindonesia.or.id – Euforia pesta demokrasi masih terus terasa hingga saat ini. Tabuhan genderangnya membuat masyarakat akar rumput (desa) terlarut dalam suasana pesta rakyat yang melenakan. Namun, bentuknya bukan seperti yang dibicarakan oleh pengamat, yang mengkhawatirkan susahnya menyembuhkan luka akibat tensi yang tinggi dalam proses Pemilu 2019 (Pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan legislatif), namun pesta demokrasi itu berbentuk adalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di beberapa daerah di Indonesia. Saat membaca tulisan ini, mungkin daerah Anda sedang bersiap melaksanakan Pilkades, atau bahkan Anda sedang berada dalam bilik suara untuk menggunakan suara dalam Pilkades di desa Anda. Namun, walaupun desa Anda saat ini sedang menyelenggarakan Pilkades, atau masih akan, atau bahkan tidak, hampir dapat dipastikan banyak orang yang turt serta membicarakannya, atau sekedar mencari informasi tentang Pilkades.
Euforia ini juga dirasakan Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Ademos), sebuah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang mengagendakan 2 isu utama sebagai fokus kerjanya, yaitu demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam manifestasi gerakannya, Ademos menggunakan pendekatan sinau bareng (belajar bersama), sebagai implementasi nilai demokrasi itu sendiri. Karena dalam sinau bareng mekanismenya adalah tidak ada guru, tidak ada murid, tidak ada yang tidak pintar dan tidak ada yang lebih pintar. Dalam artian, semua dapat membagikan pengalaman, ide dan gagasannya. Semua berhak mendapatkan pengetahuan dalam sinau bareng tersebut.
Dengan latar belakang kelahirannya tersebut mengharuskan Ademos tumbuh bersama masyarakat desa. sehingga Ademos memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dengan desa, dibuktikan dengan domisili dan komitmennya dalam berdesa dan menjadi bagian yang utuh dari masyarakat desa itu sendiri.
Hal ini membuat Ademos terlibat secara langsung dengan aktifitas, kesedihan dan kegembiraan warga desa. Ketika warga desa memasuki musim panen raya, Ademos turut merayakannya bersama warga desa (petani). Saat musim paceklik, Ademos akan turut serta berbagi kesedihan dan upaya untuk mencari solusi pemecahannya dengan penduduk desa.
Begitu juga saat pesta demokrasi dilakukan di tingkat desa (Pilkades), atensi akan suasana pesta dalam menyambut hajat besar desa juga riuh gemuruh bersama warga desa yang turut merayakannya. Hal ini dikarenakan karakter, cara pandang, sikap dan mimpi Ademos tidak berbeda sedikitpun dengan warga desa terhadap aktifitas berdesa, termasuk Pilkades, dengan Ademos telah menjadi bagian dari masyarakat desa itu sendiri.
Sebagai hajatan pesta demokrasi warga desa yang diselenggarakan 6 tahun sekali, Pilkades menjadi ajang bagi warga desa untuk menentukan pilihan politiknya kepada kontestan yang bertarung. Di dalamnya tentu masyarakat memiliki suatu harapan besar bagaimana melahirkan seorang Kepala Desa yang amanah, anti korupsi, memahami permasalahan mendasar yang menjadi persoalan desa, mampu memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut, berkomit dalam melakukannya dan dapat meningkatkan kesejahtraan warga desa dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Mimpi ini kemudian disederhanakan oleh sebagian warga desa dengan istilah memajukan desa, atau membuat desa menjadi maju.
Mewujudkan harapan ini tentu bukanlah sebuah yang mudah. Perlu adanya sebuah sistem yang dapat menjamin harapan warga desa dapat terwujud dengan sistem penyelenggaraan Pilkades berkualitas, yang akan sangat ditentukan pula oleh kualitas warga desa sebagai pemilih. Semakin bagus kualitas pemilih maka proses dan hasil pilkades akan semakin berkualitas pula.
Namun, pengalaman mengatakan sikap pemilih tidak terpengaruh dengan dengan visi, misi maupun program dari kandidat. Sikap pemilih dalam menentukan pilihan selalu dipengaruhi oleh faktor transaksi (finansial), politik jasa, hubungan emosional dan kekerabatan dengan kandidat. Faktor inilah yang saat ini paling berpengaruh dari sekian faktor lainnya bagi warga desa dalam menentukan pilihannya.
Kita tentu juga tidak dapat menyalahkan mereka tanpa melihat konteks permasalahan secara menyeluruh. Karena bisa jadi, penyebab tingginya faktor ini dikarenakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap rekam jejak kandidat, atau kinerja pemerintah desa yang telah berjalan. Sehingga muncul istilah, nek dadi lali (kalau jadi kepala desa pasti lupa).
Begitu juga sebaliknya, kita semua juga tidak bisa menyalahkan kandidat ketika telah terpilih dengan ketidak mauan kita mengawal, mengingatkan, menagih janji Kepala Desa saat pilkades. Ketidakmauan ini juga dapat dimaknai sebagai ketidak berdayaan warga desa karena merasa pekewuh (tidak enak hati) untuk menagih janji yang disampaikan dengan uang ongkos nyoblos (money politic) yang kita terima, atau politik jasa yang menyandera, atau karena yang menjadi Kepala Desa memiliki hubungan emosional, kekerabatan dan keluarga dengan kita.
Hal ini merupakan persoalan klasik yang menjadi PR bagi semua stakeholder desa, baik dari level masyarakat, pemerintah desa, hingga supra desa, bahwa telah terbentuk rantai yang terus berputar dan tidak ditahui pangkal dan ujungnya, yang hanya dapat diselesaikan dengan konsepsi desa partisipatif (partisipative rural), yang jika ditinjau dari penyelenggaraan pemerintah desa mencakup dua bagian, yaitu internal pemerintah desa (Kepala Desa dan aparaturnya) dan eksternal (warga desa – non pemerintah).
Partisipasi secara eksternal berarti adanya rasa memiliki terhadap desa. Sementara partisipasi dalam arti internal terkait dengan bagaimana pemerintah desa berupaya melibatkan warga desa dalam pelaksanaan pembangunan di desa. Jadi, desa partisipatif bukan hanya sebuah proses mobilisasi rakyat. Akan tetapi lebih kepada manifestasi nilai kerukunan, kebersamaan dan gotong royong dalam mewujudkan keberhasilan program pembangunan. Bentuknya bisa tiga hal, yaitu perencanaan partisipatif (partisipative planing), pelaksanaan partisipatif (partisipative implementation) dan pemanfaatan hasil pembangunan partisipatif (partisipative utilitazion).
Dengan strategi pendekatan desa partisipatif ini, kedua belah pihak baik pemerintah desa maupun warga desa, akan mendapatkan keuntungan yang mutualistik. Bagi pemerintah desa, diantara keuntungan tersebut adalah tingkat kepercayaan warga desa akan semakin tinggi dan biaya pelaksanaan pembangunan yang lebih kecil daripada seharusnya. Sedangkan bagi warga desa dapat melepaskan diri dari belenggu pekewuh untuk menagih janji Pilkades, dengan terlibat secara langsung dalam pelaksanaan perubahan bersama pemerintah desa.
Lalu, dimana posisi supra desa dan Ademos? Dalam desa partisipatif, supra desa disini harus berperan sebagai pendorong dan pembimbing yang mendampingi pemerintah desa dan warganya untuk mewujudkan desa partisipatif. Sementara Ademos, dapat mengambil peran dengan konsepi sinau bareng-nya, dengan menjadi konco sinau bareng (teman belajar) bagi stakeholder desa, baik warga desa, pemerintah desa maupun supra desa. Dan melalui pendekatan desa partisipatif inilah, upaya paling efektif yang dapat mewujudkan kelahiran Kepala Desa transformatif yang lahir dari pelaksanaan pilkades yang berkualitas.