ademosindonesia-or.id – Sejak diberikannya hak dan wewenang kepada desa untuk membangun desanya sendiri, ragam cerita tentang perubahan yang terjadi di desa mulai ramai terdengar di sekitar kita. Cerita tentang bagaimana desa menggunakan hak dan wewenangnya untuk mengatur rumah tangganya sendiri mulai dari merencanakan, melaksanakan, serta mengawasi pembangunan itu sendiri. Juga cerita-cerita tentang keberhasilan dalam membangun desa.
Desa secara material memiliki kekuatan yang cukup besar hari ini (sejak diterbitkannya UU. No 06 Tahun 2014 tentang Desa). Dana Desa dan Anggaran Dana Desa menjadi wujud riil atas kekuatan tersebut. Besaran dana yang oleh pemerintah pusat dipercayakan untuk dikelola secara langsung oleh desa menjadikan desa untuk merangkak kreatif dan mampu berinovasi. Desa yang tadinya hanya menjadi objek pembangunan, hari ini ia diberi wewenang penuh untuk menjadi subjek dari pembangunan itu sendiri. Wewenang inilah yang mau tidak mau akhirnya memaksa desa untuk mampu bertindak kreatif serta inovatif. Setidak-tidaknya kemampuan dalam “merencanakan pembangunan” yang sebelumnya tidak pernah dimiliki oleh desa, hari ini setiap desa di Indonesia memiliki kemampuan atas itu.
Kita belum berbicara tentang kebaikan, keburukan, keberhasilan ataupun kegagalan suatu desa dalam membangun desanya. Karena dalam beberapa wilayah, perubahan tidak diciptakan dengan mudah namun harus melewati tahapan-tahapan rumit sesuai kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya. Terlepas dari itu semua, perubahan-perubahan kecil yang memang belum tampak ini juga patut diapresiasi sebagai sebuah langkah progresif yang sudah dilakukan oleh desa.
Mengingat tentang keterbatasan kapasitas beberapa desa dalam merencanakan suatu pembangunan, desa bisa kita ibaratkan sebagai balita yang baru bisa berdiri dan sedang belajar untuk berjalan. Mereka yang mahir, tidak butuh waktu lama untuk segera bisa berjalan, mereka ini bahkan hari ini sudah belajar untuk berlari. Tetapi bagi yang kurang mahir ia perlu waktu yang lebih lama untuk bisa berjalan. Ia bahkan harus ditemani dan ditatih oleh orang lain agar cepat bisa berjalan. Fungsi menatih inilah yang menjadi inti bahasan kali ini.
Dalam setiap keterbatasan desa dalam merencanakan dan mengelola suatu pembangunan, harus ada campur tangan dari orang lain yang saya katakan sebagai penatih tadi. Harus ada banyak pihak yang turut bersimpati terhadap desa, yang hari ini mempunyai hak dan wewenang begitu luas terhadap urusan rumah tangga desanya sendiri. Sehingga perencanaan pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan desa. Pihak-pihak seperti pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten seharusnya memberikan ruang, menemani dan melatih desa untuk merencanakan dan mengelola suatu pembangunan.
Tidak hanya pemerintah saja, organisasi non pemerintah pun seperti Civil Society Organization (CSO), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi lain khususnya mereka yang concern terhadap isu-isu desa harus turut berkontribusi, bahu-membahu untuk membantu mewujudkan cita- cita mulia desa untuk membangun dan mensejahterakan masyarakatnya.
Keberadaan Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Ademos) dalam mendampingi beberapa desa di Bojonegoro bagian barat perlu dijadikan contoh bagi pihak-pihak lain yang turut bersimpati untuk membangun desa. Ademos mengambil peran-peran influencer dan tempat “sinau” bagi desa-desa dalam membangun
desanya. Pasifnya pemerintah desa dalam menganalisis potensi serta menterjemahkan kebutuhan-kebutuhan mendasar desa, dipandang sebagai keterbatasan desa dalam mengakses informasi dan tata cara yang harus ditempuh oleh desa dalam proses pembangunan. Sehingga, di sinilah ademos berperan memberikan wadah untuk desa agar bisa mengakses informasi serta tata cara yang dimaksud.
Hasil dari “sinau bareng” (belajar bersama) akhirnya diterjemahkan sendiri oleh desa dalam ragam kegiatan. Misalnya, Desa Dolokgede Kecamatan Tambakrejo melakukan pemetaan sosial serta wilayah desa sehingga Desa Dolokgede hari ini memiliki pangkalan data yang digunakan sebagai dasar perencanaan pembangunan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Desa Sedahkidul Kecamatan Purwosari dan Desa Kacangan Kecamatan Tambakrejo.
Selain itu, hasil sinau ini juga diterjemahkan oleh desa dalam bentuk kegiatan lain. Misalnya dalam rangka meretas tumbuhnya rentenir di wilayah desa, Desa Dolokgede hari ini membangun koperasi simpan-pinjam berbasis komunitas. Komunitas-komunitas yang ada di desa seperti jamaah tahlil dan jamaah yasinan ibu-ibu, menjadi media pendistribusian misi peretasan hutang terhadap rentenir yang justru merugikan masyarakat. Penganggaran dana desa untuk memberikan modal terhadap koperasi ini patut dijadikan sebagai contoh bagi desa-desa lain yang memiliki permasalahan yang sama. Desa Dolokgede juga memberikan suntikan modal kepada kelompok ternak yang sudah tumbuh dan berkembang di sana, sehingga dengan ditambahkannya modal peternakan maka peternakan di Desa Dolokgede bisa berkembang lebih besar.
Tidak hanya itu, masih dalam rangka menerjemahkan hasil dari “sinau bareng” Desa Kacangan Tambakrejo menjadikan pasar desa sebagai salah satu unit pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Jika Desa Ponggok memiliki wisata bawah air yang indah untuk dapat menarik pengunjung dari luar masuk ke DesaPonggok, Desa Kacangan (meski tidak berbasis sumber daya alam) ia mampu menciptakan pasar malam yang mampu menarik ratusan pengunjung dari luar desa dalam waktu satu malam. Kegiatan ini berdampak pada tumbuhnya kantong-kantong perekonomian masyarakat Desa Kacanga. Ide-ide kreatif ini muncul sebagai akibat dari intensitas sinau bareng yang sering dilakukan. Dari ber-sinau bareng wawasan pemerintah desa terhadap ragam perencanaan pembangunan menjadi kaya. Sehingga mereka bisa menerapkan atau memunculkan ide baru untuk dilakukan di desa masing- masing.
Ademos memulainya demi kebermanfaatan untuk lingkungan sekitar. Dengan memberikan contoh, ademos berharap akan ada lebih banyak lagi desa-desa sekitar yang termotivasi dan bersama-sama mewujudan kerja-kerja kreatif, inovatif serta produktif demi kesejahteraan sosial. *adm/ana