Ademos Indonesia – Beberapa kondisi seringkali menyebabkan harga kebutuhan pangan masyarakat mengalami lonjakan, seperti menjelang hari raya, krisis, ataupun keadaan lain. Seperti saat ini, ketika covid-19 menjadi salah satu momok bagi masyarakat, komoditas pertanian jenis empon-empon atau tanaman rimpang menjadi sangat mahal. Suara.com, Jumat (06/30) misalnya, melakukan penelusuran di Pasar Keputran, Surabaya. Dari proses tersebut, ditemukan bahwa harga empon-empon naik dua kali lipat dibanding harga biasa yang semula 40 ribu rupiah menjadi 80 ribu rupiah. Selain pada empon-empon, harga juga naik untuk jamu yang bahan bakunya memang bersumber dari tanaman rimpang seperti jahe, kunyit, kencur, dan lain sebagainya (Kompas.com, (06/03)). Lonjakan ini juga terjadi di sejumlah daerah lain menyusul temuan bahwa empon-empon dapat dijadikan sebagai salah satu penangkal virus corona karena sifatnya yang menjaga imun tubuh.
Jika pasar merespons dengan menaikkan harga, masyarakat selaku konsumen juga mempunyai caranya sendiri. Melansir Beritajatim.com, (06/03) beberapa sekolah di Surabaya memanfaatkan lahan sekolah untuk menanam tanaman rimpang. Selain itu, mereka juga mengolahnya menjadi minuman tradisional. Di Probolinggo, Jawa Timur, masyarakat secara swadaya melalui Kelompok Dasawisma Tulip berinisiatif menanam empon-empon sebagai tanaman obat keluarga (TOGA) sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dengan obat-obatan tradisional (Jatimnet.com, (04/04)). Sedangkan di Situbondo, Babinsa membagikan bibit empon-empon agar ditanam oleh masyarakat di kebun yang tidak terpakai di sekitar rumah (KompasTV, Kamis, (02/04)). Setelah kesadaran menanam empon-empon di rumah masing-masing mulai tumbuh, akankah masyarakat mengubah pandangan mereka tentang ketahanan pangan?
Merujuk pada Undang-Undang Pangan terbaru yang baru yaitu UU No. 18 Tahun 2012 (Setneg, 2012) tentang Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama ruang lingkup jenis pangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (Prabowo, 2014). Berdasarkan definisi ini, maka tanaman rimpang atau empon-empon menjadi salah satu bagian dari pangan meskipun tidak termasuk dalam pangan pokok. Sebab dalam UU Pangan, pangan pokok didefinisikan sebagai pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Namun demikian, perspektif yang menjelaskan pergeseran preferensi masyarakat atas pangan pokok juga menarik digunakan untuk melihat konteks empon-empon saat ini.
Sebagaimana dalam kajian Dwi Wahyuniarti Prabowo (2014), dijelaskan bahwa komoditi pangan pokok diduga mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial-ekonomi masyarakat. Kondisi sosial-ekonomi tersebut di antaranya adalah peningkatan taraf hidup dan pendapatan serta berkembangnya populasi penduduk kelas menengah. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi keputusan pilihan pangan saat ini adalah ketersediaan komoditi yang dikonsumsi dan keterjangkauannya. Peningkatan permintaan pangan karena pertumbuhan populasi, peningkatan konversi produk pangan menjadi bahan baku energi, dan perubahan stok karena faktor cuaca merupakan masalah dalam ketersediaan pangan saat ini (Spiertz and Ewert, 2009). Perubahan persepsi konsumen terhadap inovasi juga mempengaruhi konsumsi masyarakat terhadap pangan (Cornescu and Adam, 2013). Berdasarkan beberapa paparan di atas, kondisi saat ini juga potensial mengubah preferensi masyarakat atas kebutuhan konsumsi yang kemudian dipandang penting untuk selalu ada di dapur; empon-empon.
Hal tersebut salah satunya berkaitan erat dengan ketahanan pangan. Sebagaimana Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) mendefinisikannya sebagai “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat”. Sedangkan FAO (1997) menyatakan bahwa ketahana pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Sehingga proses mendekatkan akses terhadap tanaman rimpang kepada entitas bernama keluarga maupun unit terkecilnya yakni individu, menjadi salah satu capaian dari ketahanan pangan itu sendiri.
Bukan hal yang tidak mungkin jika Covid-19 terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama pada akhirnya mengubah pola pikir masyarakat akan ketahanan pangan, dengan menjadikan lahan-lahan kecil di rumah sebagai tempat menanam komoditas yang menunjang kebutuhan di tengah wabah. Bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat mulai menanam sayur dan buah sendiri di waktu yang akan datang.