Lahirnya UU No.6/2014 tentang desa telah membuka peluang bagi desa untuk menjadi mandiri dan otonom. Otonomi desa yang dimaksud adalah otonomi pemerintah desa dalam melakukan pengelolaan keuangan desa. Salah satu program yang diberikan pemerintah saat ini adalah pemberian dana desa dengan proporsi 90:10. Tujuan pemberian dana desa ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, berdasarkan penelitian Nyimas Latifah Letty Aziz (2016), pelaksanaan penggunaan dana desa masih dirasakan belum efektif dikarenakan belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah desa dan belum terlibatnya peran serta masyarakat secara aktif dalam pengelolaan dana desa.
Secara lebih detail Nyimas Latifah Letty Aziz (2016) menerangkan bahwa ada dua kendala dalam penyaluran dan penggunaan dana desa selama ini. Pertama adalah lemahnya kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan desa hingga menyebabkan keterlambatan dalam proses penyaluran dana desa pada tahun 2015. Ringkasnya, rendahnya kapasitas dan kapabilitas SDM (aparatur desa) menyebabkan rendahnya pemahaman terhadap standar akuntasi pemerintah (terkait transfer dana desa).
Kendala selanjutnya menurut Nyimas Latifah Letty Aziz (2016) dan akan lebih dibahas dalam tulisan ini adalah minimnya partisipasi masyarakat. Sejauh ini, partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan mulai dari proses penyusunan dokumen perencanaan, bahkan, sampai dengan pengawasan penggunaan dana desa sehingga APBDesa belum optimal dan PADesa belum sesuai dengan berbagai potensi yang ada di desa.
Dilihat dari regulasi, pengelola dana desa adalah Kepala Desa, PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa), dan Bendahara Desa. Namun, dalam realitasnya Kepala Desa memiliki hak penuh untuk menentukan prioritas penggunaan dan pengalokasian dana desa bukan atas dasar kebutuhan masyarakat. Di sini, terjadi peluang penyalahgunaan dana desa karena belum ada transparansi penggunaan dana desa kepada masyarakat.
Di banyak tempat, pada praktiknya seringkali anggaran pembangunan desa tidak dibicarakan sejak proses perencanaan pembangunan berlangsung. Bahkan sering tidak dibicarakan sama sekali dengan masyarakat. Keterlibatan masyarakat hanya berhenti sampai pada pengusulan kegiatan pembangunan.
Untuk mengatasi permasalahan minimnya partisipasi masyarakat maka perlu adanya proses penganggaran yang partisipatif. Melalui perlibatan masyarakat di dalam proses penganggaran, pemerintah desa merasa aman dari segi pertanggungjawaban hukum dikarenakan kebijakan pengelolaan keuangan ditanggung secara bersama dengan masyarakat. Selain itu jalannya pembangunan diyakini akan lebih lancar karena tidak banyak gugatan dan protes dari masyarakat terkait penggunaan anggaran.
Berdasarkan laporan Knowledge Sector Indonesia, Pengembangan model penganggaran partisipatif perlu diarahkan kepada partisipasi masyarakat yang substansial. Untuk mendukung hal tersebut maka pemerintah pusat perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut : (a) penyederhanaan penatausahaan untuk memberikan waktu yang cukup bagi proses-proses partisipatif; dan (b) memperbesar dukungan pendanaan bagi proses partisipatif melalui peningkatan dana operasional penyelenggaraan pemerintahan desa.
Sedangkan pemerintah daerah perlu melakukan peningkatan kapasitas pemerintah desa maupun Lembaga kemasyarakatan desa untuk mengelola proses-proses yang partisipatif; dan melakukan peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam teknis penganggaran (pemahaman struktur anggaran, penyusunan RAB, dll) untuk membangun active citizenship di dalam pembangunan desa khususnya dalam pengambilan kebijakan anggaran desa.
Untuk pemerintah desa, laporan Knowledge Sector Indonesia merekomendasikan untuk menerapkan salah satu model pembahasan RAPBDesa yaitu : (1) model perwakilan BPD di dalam pembahasan APBDesa, (2) model pengembangan forum konsultasi publik tingkat dusun maupun desa, (3) model perlibatan masyarakat di dalam musyawarah pembahasan RAPBDesa oleh pemerintah desa dan BPD; dan juga (4) model pembahasan anggaran di dalam musrenbang desaa. Tentu saja penerapan modelmodel proses penyusunan APBDesa secara partisipatif tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan budaya lokal setempat. Dengan diterapkannya penganggaran partisipatif maka penggunaan dana desa akan sesuai dengan tujuan dasarnya yaitu digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat desa.