Pada hakikatnya menusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi (communicative competence). Moulton (dalam Darmadi (1996:1) menyebutkan bahwa kemampuan ini kita dapatkan dari transmisi budaya, yaitu sesuatu yang kita dapatkan melalui suatu proses belajar dan bukan melalui proses warisan. Namun, satu hal yang harus diperhatikan bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang itu tidak sama. Perbedaan ini wajar karena memang kemampuan manusia itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya.
Kemampuan komunikasi bisa juga disebut sebagai kemampuan berbahasa karena di dalam berkomunikasi kita menggunakan bahasa sebagai medi utamanya (bandingkan A Shodiqurrosyad dkk., 2010). Oleh karena itu, Kaswan Darmadi (1996:1) menyatakan bahwa kemampuan berkomunikasi berdasarkan tingkat kemampuan penguasaan bahasa dapat dibagi sebagai berikut:
1.Kemampuan Menyimak (Listening competence),
2.Kemampuan berbicara (Speaking competence),
3.Kemampuan membaca (Reading competence), dan
4.Kemampuan menulis (Writing competence)
Dari pembagian di atas, kita dapat memahami konsep-konsep sebagai berikut: Pertama, keempat kemampuan tersebut merupakan satu kesatuan untuk menciptakan kemampuan berkomunikasi (communication ability). Oleh karena itu Darmadi (1996:2) berpendapat bahwa meningkatkan penguasaan berbagai kemampuantersebut secara terus-menerus akan sangat mendukung penguasaan kemampuan komunikasi yang semakin baik.
Kedua, Pembagian kemampuan itu diperoleh dari pengamatan dalam kehidupan. Telah kita ketahui bahwa kemampuan itu dimiliki manusia secara berurutan (chronologic). Artinya, mula-mula manusia pada waktu kecil belajar menyimak dan setelah itu diikuti belajar berbicara. Baru setelah itu, ketika berusia sekitar 5-7 tahun manusia belajar membaca yang kemudian diikuti melajar menulis. Jadi, kemampuan yang diperoleh lebih dulu merupakan dasar yang dikembangkan dalam proses pembelajaran untuk memperoleh kemampuan berikutnya. Sebagaimana yang diungkapkan Darmadi (1996:2) bahwa tingkat kesukaran berbagai kemampuan menggambarkan adanya pola-pola hubungan tertentu. Di satu pihak kemampuan menyimak erat hubungannya dengan kemampuan berbicara sebagai perwujudan bentuk komunikasi langsung (direct communication). Komunikasi ini dikenal dengan komunikasi lisan (oral communication). Di pihak lain kemampuan membaca erat hubungannya dengan kemampuan menulis sebagai bentuk komunikasi tidak langsung (indirect communication). Komunikasi ini lebih dikenal (written communication) (bandingkan Tarigan, 1981).
Menulis adalah aktivitas menyusun atau merangkai kata, frasa, kalimat dan alinea serta dimensi-dimensi lainnya sehingga menjadi satu kesatuan yang padu dan utuh sebagai sebuah tulisan/narasi (Firdaus Putra A., 2008:3), hasilnya disebut tulisan (baca: karya tulis) dan orangnya disebut penulis. (Slamet Soeseno, 1995:1) Arief Suwandi (2007:2) pun pengamini definisi tentang menulis tersebut. Hal ini dapan dilihat dari pendapatnya bahwa menulis adalah proses membuat pendapat (sesorang) tersebut dalam bentuk tulisan.
Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa kita harus menguasai written communication. Jawaban dari pertanyaan tersebut pun muncul pertama kali dari dunia pergerakan sosial (baca : LSM atau NGO). Di Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), (tanpa meremehkan pentingnya kemampuan yang lain) kemampuan menulislah yang dijadikan puncak tuntutan bagi setiap pelakunya. Artinya, setiap pegiat LSM harus mampu menulis narasi kegiatan dan program, catatan lapang, deskripsi sosial masyarakat, temuan masalah, dan lain sebagainya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing dari pegiat sosial. Oleh karena itu, meskipun menulis merupakan kemampuan komunikasi tersulit untuk dikuasai, tidak ada alasan bagi pegiat sosial untuk tidak belajar menulis.
Selain itu di kalangan aktivis ada dua pameo yang diyakini kebenarannya, yaitu publish or perish (publikasikan atau minggirlah) dan all scientist are the same, until one of them writes a book (semua ilmuwan adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku). (Wishnubroto Widarso, 1997:4) Pameo tersebut pun saya kaitkan dengan ungkapan “scripta manent, verba volant”. Menurut Erwin Arianto (20/Sep/2007,1), arti ungkapan tersebut adalah “yang tertulis akan abadi, yang terucap akan lenyap bersama hembusan angin”. Setidaknya saya menyadari bahwa isi dari ungkapan ini telah dapat dinikmati oleh Emha Ainun Najib, Abdurrahman wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur, Budi Dharma, dan lain sebagainya. Sederet nama itu telah menghasilkan tulisan sangat kaya makna dan sarat nilai. Berangkat dari gagasan besar sebagai basis pemikiran yang diyakini dan diperjuangkanlah sehingga mereka memutuskan untuk menulis. Sehingga karya-karya mereka tetap dapat dinikmati sampai kapan pun karena telah diabadikan dalam bentuk tulisan. Dalam perjumpaan mutakhir pun tradisi menulis seringkali digunakan oleh para blogger untuk mengkomunikasikan ide, pengalaman, sikap, perhatian, kepedulian, dan lain sebagainya.
Dalam konstek yang lebih luas, kemampuan menulis sangat penting artinya bagi dunia pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Penulisan-penulisan hasil penelitian pengembangan iptek harus dilakukan agar memiliki nilai dokumentasi yang kuat. Hal ini secara tidak langsung menuntut setiap orang terlibat, terutama para ilmuan yang melakukan penelitian. Tetapi menurut Hairston (dalam Darmadi (1996:3), ada beberapa alasan yang jauh lebih penting, yaitu:
1.Kegiatan menulis adalah sarana untuk menemukan sesuatu. Dengan menulis kita dapat merangsang pemikiran kita.
2.Kegiatan menulis dapat memunculkan ide baru.
3.Kegiatan menulis dapat melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep ide yang kita miliki.
4.Kegiatan menulis dapat melatih sikap obyektif yanag ada pada diri seseorang.
5.Kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk menyerap dan memproses informasi.
6.Kegiatan menulis akan memungkinkan kita untuk berlatih memecahkan beberapa masalah sekaligus.
7.kegiatan menulis adalam suatu bidang ilmu akan memungkinkan kita unutk menjadi aktif dan tidak hanya menjadi penerima informasi.
Dengan berbagai manfaat di atas setidaknya telah memjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya alami. Namun di samping itu semua, jelas kegiatan menulis dapat menjadi pengalaman yang produktif dan berharga. Sekian…
Penulis: A. Shodiqur R