Oleh : Ananing Nur Wahyuli
“Pemuda-pemudi Indonesia berapa jumlahmu? Jawablah, kami hanya satu”
Kalimat di atas merupakan kutipan pidato Bung Karno saat berpidato di depan para pemuda pemudi Indonesia. Kata satu ini merupakan bentuk penegasan bahwa meski masyarakat Indonesia mempunyai ragam yang sangat banyak tetapi masyarakat Indonesia tetap satu yaitu Bangsa Indonesia. Ikrar persatuan dan kesatuan ini secara resmi dipertegas oleh pemuda pemudi Indonesia 91 tahun silam. Tepat 91 tahun silam, pada tanggal 27-28 Oktober 1928 para pemuda berkumpul untuk menyelenggarakan sebuah kongres yang disebut dengan Kongres Pemuda II. Kongres Pemuda II ini menyepakati tentang sebuah deklarasi yang mana isi deklarasi tersebut dirumuskan oleh Muhammad Yamin. Deklarasi inilah yang kemudian disebut dengan istilah sumpah pemuda.
Hari ini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda untuk mengenang kebangkitan para pemuda yang secara sadar menyatakan diri sebagai satu kesatuan utuh yaitu Bangsa Indonesia. Hal ini termaktub dalam isi deklarasi sumpah pemuda yakni sebagai berikut:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Untuk memperingati sumpah pemuda ini, ada banyak ragam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Diantaranya ada yang melakukan upacara bendera dengan busana adat beberapa suku di Indonesia. Ada juga yang merayakannya dengan mengadakan berbagai cabang lomba bahasa untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Di tempat lain, ada yang melakukan aktivitas seperti biasa tanpa peduli tentang momen bersejarah apa yang pernah terjadi hari ini.
Sebenarnya yang terpenting bukanlah seberapa meriah kegiatan peringatan yang dilakukan, tetapi sedalam apa pemahaman kita terhadap makna persatuan yang dikumandangkan dalam sumpah pemuda tersebut. Akhir-akhir ini, banyak sekali tindakan-tindakan perlawanan dari kelompok-kelompok kecil yang ingin memecah belah keutuhan Negara Republik Indonesia. Perlawanan ini dilakukan dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat baik dalam hal agama, suku, politik dan beberapa hal lainnya. Tanda-tanda perpecahan inilah yang seharusnya perlu dipahami dan dicarikan solusi. Tradisi saling menjatuhkan, mengolok-olok dan mengunggulkan satu kelompok dari kelompok lainnya, semakin sering kita lihat di lingkungan sekitar. Tindakan-tindakan tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya perpecahan.
Dengan memperingati 91 tahun Sumpah Pemuda, seharusnya masyarakat Indonesia secara sadar melihat kondisi sekitarnya. Apakah semangat persatuan dan kesatuan yang digelorakan oleh Sang Bapak Proklamator dan para pahlawan yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga masih digelorakan oleh orang-orang sekitar kita hari ini? Atau jangan-jangan budaya kehidupan yang dilakukan, secara tidak sadar lambat laun dapat mengikis semangat persatuan dan kesatuan?
Di lingkungan sekolah misalnya, disadari ataupun tidak, budaya yang diciptakan oleh sekolah hari ini adalah budaya pemecah belah. Siswa secara tidak sadar diajarkan untuk meraih nilai tertinggi untuk mendapatkan peringkat pertama. Siswa diajarkan untuk menjadi individu yang berdaya saing dan menjadi lebih unggul daripada siswa lainnya. Pedoman yang dianut oleh sekolah bahwa mereka yang pintar adalah mereka yang nilai (angka) nya paling tinggi. Bahwa mereka yang menjadi kebanggan sekolah adalah yang mampu bersaing dan mengalahkan siswa lain. Bahwa mereka yang unggul adalah yang menjadi nomor satu dengan cara menyingkirkan kawannya. Budaya-budaya ini justru jauh sekali dengan persatuan dan kesatuan.
Toto Rahardjo dalam bukunya Sekolah Biasa Saja menyatakan bahwa hari ini hanya ada sedikit sekali sekolah yang mengajarkan siswanya untuk membudayakan perilaku gotong royong. Padahal, budaya gotong royong ini mampu meminimalisir perpecahan. Dengan bergotong royong siswa belajar untuk mencapai suatu tujuan bersama tanpa menyingkirkan, mengalahkan atau justru mengolok-olok orang lain. Dengan bergotong royong siswa belajar bagaimana menyelesaikan masalah bersama tanpa mengorbankan orang lain.
Sebagai guru, kita juga harus peka terhadap hal-hal yang kita lakukan sehari-hari di kelas kita. Apakah metode mengajar kita ini mendekatkan siswa pada persatuan dan kesatuan atau justru pada perpecahan. Sebagai guru, kita juga harus mulai belajar mengajarkan hal-hal kecil yang dapat berpengaruh besar terhadap kebiasaan yang dilakukan oleh siswa di masa depan. Misalnya dengan cara menciptakan kegiatan-kegiatan kelas yang minim dari iklim kompetisi agar siswa tidak beromba-lomba menjadi paling unggul dengan cara mengalahkan, menyingkirkan dan memperolok siswa lainnya. Agar siswa mampu bekerja bersama-sama sehingga mampu memupuk jiwa persatuan dan kesatuan dalam diri masing-masing siswa.