Dalam mendirikan suatu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dalam benak kebanyakan orang modal materi menjadi hal mendasar yang paling dibutuhkan. Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 06 Tahun 2014 tentang desa, adanya penegasan tentang wewenang dan hak desa untuk mengelola rumah tangganya sendiri, dalam perkembangannya kini memunculkan produk-produk kemandirian desa yang salah satunya berupa BUMDes. BUMDes menjadi badan yang secara resmi menjalankan kegiatan-kegiatan usaha di desa. Ia juga menjadi wadah bagi pengembangan potensi-potensi lokal desa yang dikelola sedemikian rupa sehingga meningkatkan perekonomian desa serta masyarakat desanya.
BUMDes menjadi populer dibicarakan dalam lima tahun terakhir sejak diundangkannya Undang-undang desa. Namun, ada hal yang tidak banyak diketahui oleh publik bahwa sebelum undang-undang desa diterbitkan pun, sudah ada desa yang sudah memulai untuk membentuk BUMDes. Salah satunya adalah Desa Ponggok Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten yang sudah memulai membangun BUMDes sejak tahun 2009. Desa Ponggok menjadi desa wisata terbaik se Indonesia dalam kategori pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan dalam mengelola potensi air di desanya menjadi sebuah destinasi wisata, mengantarkan desa ini untuk mencapai prestasi tersebut.
Pembangunan BUMDes di Desa Ponggok dimulai dengan mengembangkan beberapa titik sumber air yang melimpah di desanya. Pembangunan ini tidak didasari atas banyaknya modal material yang dimiliki oleh desa, karena saat itu desa belum diberi wewenang untuk mengelola Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Modal yang dimiliki oleh Desa Ponggok adalah ketulusan serta keseriusan warga lokal desa yang turut berpartisipasi aktif baik secara ide maupun perbuatan.
Kemarin (4/2), tim Ademos berkesempatan untuk mengunjungi Desa Ponggok dalam rangka belajar mengelola suatu BUMDes. Di sana kami dipertemukan dengan Pak Wito, salah satu tokoh yang menjadi saksi sekaligus pelaku dari berkembangnya Wisata Umbul Ponggok. Dari beliau kami belajar tentang semangat membangun desa dari suatu wisata. Tidak banyak yang tahu bahwa wisata snorkling Umbul Ponggok dibangun dari enam paket alat snorkle yang dibeli dari tabungan pribadi seorang warga desa yang merantau di Kalimantan. Tabungan senilai dua juta rupiah ini menjadi cikal bakal berdirinya Wisata Umbul Ponggok yang hari ini begitu ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun luar kota Klaten. Dari enam paket alat snorkling yang dikelola, uang yang dikumpulkan dari retribusi parkir kemudian dibelikan 180 paket alat snorkling.
Dalam segala keterbatasannya, pengelolaan wisata Umbul Ponggok ini pada masa-masa awal hanya dilakukan oleh 3 orang warga lokal (termasuk Pak Wito) bersama Kepala Desa Ponggok Bapak Junaedi. Ketulusan serta semangat para pendiri awal inilah yang menjadi modal besar yang dimiliki oleh Desa Ponggok. Bahwa adanya modal material dalam pengembangan suatu BUMDes memang penting, tetapi modal semangat serta ketulusan, nyatanya jauh lebih penting di sini. Pak Wito bersama dua rekan lainnya dengan dukungan penuh dari Kepala Desa membangun Umbul Ponggok dari bukan apa-apa menjadi sepopuler hari ini.
Pelajaran yang juga bisa diambil dari perbincangan tim Ademos bersama Pak Wito kemarin adalah bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan secara instan. Sebelum sepopuler ini, Umbul Ponggok juga pernah mengalami masa dimana ia tidak banyak menarik perhatian publik terutama wisatawan. Sehingga perputaran ekonomi lokal desa pun belum sebanyak hari ini. Pak Wito bersama dua rekan lainnya selaku pendiri dan pengelola wisata pernah menerima gaji 200.000 rupiah per bulan selama puluhan bulan lamanya. Pak Wito mengistilahkan masa-masa tersebut dengan masa berpuasa. Masa dimana ia harus menahan keingina-keinginan untuk mendapat upah yang banyak dari wisata yang baru dikelola bersama teman-temannya. Ia juga harus menjaga kekonsistenannya dalam membangun wisata Umbul Ponggok. Alhasil hari ini masa puasanya telah usai. Ketulusan dan kegigihannya dalam perjuangan membangun Desa Ponggok ini terbayarkan dengan populernya nama Desa Ponggok ke seluruh pelosok negeri. Melihat Desa Ponggok berkembang menjadi Desa Percontohan bagi desa-desa di Indonesia membuat Pak Wito bangga dan merasa bahwa inilah upah yang baginya tidak dapat dinilai dengan rupiah.(*ana/adm)