Term kewirausahaan sosial cukup familiar dalam beberapa dekade terakhir, bersamaan dengan naiknya tren lembaga non profit yang justru lebih tinggi dari pada kenaikan pertumbuhan lembaga komersil. Kewirausahaan sendiri biasanya mencakup aktivitas inovatif dengan tujuan sosial baik yang berorientasi profit maupun tidak (Dess and Anderson, 2003; Emerson & Twersky, 1996; Austin, et al., 2006). Sedangkan secara lebih spesifik, kewirausahaan sosial didefinisikan sebagai penerapan keahlian bisnis yang didasarkan pada mengolah kondisi pasar di area yang tidak menguntungkan seperti ketika sektor yang berorientasi non-profit membuat kegiatan yang dapat menghasilkan keuntungan (Reis, 1999; Thompson, 2002). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari kewirausahaan sosial adalah “menciptakan nilai sosial daripada menciptakan kekayaan pribadi maupun pemegang saham, yang karakteristiknya diwarnai oleh faktor inovasi yang mampu mengatasi beragam masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat” (Zadek dan Thake, 1997 dalam Yaumidin, 2013). Dengan demikian, kewirausahaan sosial dapat meliputi kegiatan: a) yang tidak bertujuan mencari laba, b) melakukan bisnis untuk tujuan sosial, dan c) campuran dari kedua tujuan itu, yakni tidak untuk mencari laba, namun untuk tujuan sosial (Dees, 1998 dalam Utomo, 2014).
Belakangan, kewirausahaan sosial juga banyak disinggung tidak hanya dalam kaitannya sebagai pendongkrak perekonomian dan mengisi kekosongan pasar, namun juga karena perannya dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan sosial yang memiliki nilai ekonomi, namun tidak menjadikan profit sebagai satu-satunya tujuan. Mengapa kewirausahaan penting? Bagaimana dampaknya bagi masyarakat desa?
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat desa adalah banyaknya pemuda yang memilih mengambil pekerjaan di kota, atau pekerjaan yang dominan pada sektor pertanian tanpa sentuhan inovasi. Seperti pada bidang pengolahan hasil, percepatan produksi, dan lain sebagainya. Bidang-bidang pekerjaan menjadi tidak berdampak secara meluas, meskipun pola kerja di desa cenderung kolektif. Untuk itu, kewirausahaan sosial menjadi penting untuk memberikan dampak meluas pada proses pengembangan ekonomi masyarakat. Sudah banyak contoh yang dapat kita ambil ketika berbicara tentang kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh masyarakat desa, Agradaya misalnya. Agradaya sendiri merupakan sebuah bentuk kewirausahaan sosial bagi masyarakat desa yang difokuskan untuk memberdayakan petani melalui produk pertanian yang unggul, berkelanjutan, dan bernilai ekonomi (Agradaya.id).
Untuk kebupaten Bojonegoro sendiri, meskipun geliat kewirausahaan sosial belum masif, namun dapat dilihat bahwa Pemerintah mulai ada perhatian ke arah sana. Melalui rilis pada laman resmi Pemkab Bojonegoro, praktik kewirausahaan sosial mulai diperkuat dan didukung oleh Pemerintah setempat dengan mengadakan lokakarya (Bojonegorokab.go.id). Salah satu poin menarik dari proses ini adalah daya tekan penyelenggara terhadap upaya membangun pengetahuan di tengah masyarakat terkait pentingnya koperasi sebagai bentuk dari kewirausahaan sosial. Harapannya, perekonomian masyarakat bisa meningkat dengan sumber daya dan inovasi yang memadahi dari masyarakatnya. Dampak dari praktik berwirausaha sosial memang tidak dapat terjadi secara tiba-tiba. Prosedur asesmen juga perlu diperhatikan untuk mengukur seberapa besar dampak yang sudah diberikan? Apa yang dapat diperbaiki? Dan proses-proses lain menuju perbaikan. Namun demikian, kewirausahaan sosial masih dipandang sebagai solusi yang tepat dalam menghadapi tantangan ketidakpastian ekonomi serta paradigma pembangunan masyarakat desa yang selama ini dianggap kolot dan tidak mampu berinovasi. Kewirausahaan sosial dapat menjadi jawaban atas sosial dan bisnis yang selama ini sangat dikotomis. Dengan kewirausahaan sosial, pelaku usaha tidak saja berperan sebagai pebisnis, namun juga mengurangi permaslahan sosial. Sudah siap menjadi wirausahawan sosial? . (Tim Ademos)